Meskipun dengan persiapan yang terburu-buru, demi menyambut tamu dari berbagai negara yang mengikuti Asian Games yang lalu, wajah kota Jakarta, khususnya di jalan protokol Sudirman dan Tamrin, berhasil dipercantik. Paling tidak, gak malu-maluin sebagai ibukota dari sebuah negara besar yang dipercaya menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar se Asia.
Saya yang bekerja di sebuah kantor di kawasan Jalan Sudirman, sangat senang berjalan kaki di trotoar baru yang lebar, meskipun debunya lumayan banyak. Memang, soal polusi masih menjadi PR besar di ibukota.
Sambil mencari keringat di pagi hari, saya sengaja turun dari bus Transjakarta agak jauh dari kantor, untuk berjalan kaki sekitar 15 menit.
Budaya antre yang sering saya amati yang dilakukan penumpang bus yang turun di halte busway depan Hotel Sahid, adalah contoh positif. Ternyata perilaku warga ibukota bisa tertib juga.
Di halte tersebut, penumpang Transjakarta yang menuruni  jembatan penyeberangan orang (JPO), jauh lebih banyak ketimbang yang naik jembatan.
Akibatnya jalur di tangga JPO padat sekali, sehingga kalau mereka yang turun main serobot, bisa-bisa yang mau naik gak kebagian. Untung saja rombongan yang  turun cukup sabar mengantre di satu sisi saja, sehingga tetap ada ruang bagi yang naik.
Dalam hati saya merasa salut dengan terbangunnya budaya antre seperti itu. Tapi, begitu saya sampai di bawah JPO, di halte model baru (halte di pinggir jalan, bukan yang di jalur busway) yang baru selesai dibangun bertepatan dengan dimulainya Asian Games, saya melihat yang mengecewakan.
Halte yang sudah bagus tersebut ternyata dijadikan tempat mangkal beberapa pengojek motor. Karena pengojeknya adalah pengojek biasa, bukan ojek online yang pakai jaket seragam, mungkin tidak disadari keberadaannya oleh pihak kepolisian atau pihak lain yang berwenang mengatur ketertiban di jalan raya.
Tapi karena setiap saya melewati halte tersebut, para pengojek yang lagi mangkal itu memberi kode ke saya, yang maksudnya menawari saya untuk naik ojeknya, saya memastikan bahwa yang mangkal tersebut adalah pengojek.
Sekali waktu saya sengaja duduk agak lama di halte itu dan secara diam-diam mengamati para pengojek yang mangkal. Ada yang membiarkan motornya seperti parkir sebentar, dan si pengojek berdiri di halte sambil menawari orang yang lagi menunggu bis atau taksi agar beralih ke ojeknya.
Ada pula pengojek online yang sehabis menurunkan penumpangnya, berlama-lama mangkal untuk mencari penumpang berikutnya. Tapi pengojek berseragam jaket hijau itu segera diusir oleh pengojek biasa.Â
Jangan-jangan halte tersebut sudah "dikapling" oleh pengojek tertentu. Mungkin pula oknum penguasa kapling tersebut telah mengatur siapa yang boleh mangkal dan selama berapa lama, karena pada waktu bersamaan hanya ada dua sampai tiga buah motor saja yang mangkal.
Mudah-mudahan pihak yang berwenang cepat tanggap dan mengambil tindakan agar wajah halte baru yang sudah relatif bagus tersebut, tidak "tercemar" jadi pangkalan ojek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H