Teman kantor saya, suatu sore di minggu lalu, saat mau pulang kantor bergegas mengganti pakian kerja dengan baju kaos. Ternyata ia mau ke Gelora Bung Karno (GBK) menyaksikan perlombaan atletik Asian Games.
Ia hanya berburu tiket apa yang bisa didapat saja, tidak peduli apakah ada atlet Indonesia yang berlomba atau tidak. Tidak peduli juga apakah ia memahami berbagai hal tentang atletik atau tidak. Nyatanya ia mengaku buta tentang atletik.
Memang, pada awalnya, sebelum pesta olahraga terbesar se Asia itu dimulai, gaung Asian Games tidaklah begitu kuat. Sampai-sampai Presiden Jokowi menyindir para pejabat lain, kok ya promosi tentang Asian Games terasa kurang nendang.
Minat masyarakat makin tak terbendung ketika mengikuti pemberitaan tentang prestasi atlet kita yang ternyata mampu meraih medali demi medali, bahkan melampaui target yang dibebankan pada mereka.Â
Maka, segala sesuatu yang berkaitan dengan Asian Games diburu masyarakat. Bahkan kalaupun tidak ikut menonton pertandingan atau perlombaan, sekadar menonton di kawasan Asian Festival pun, yang hanya menyediakan layar lebar untuk nonton bareng serta menjual souvenir serta aneka jajanan, sudah memuaskan dahaga untuk mereguk atmosfer itu tadi.
Nah, saya yang sampai sehari sebelum penutupan Asian Games, hanya rajin menonton tayangan televisi, ketularan sang teman, bagaimana sih rasanya atmosfer Asian Games itu?
Saya juga penasaran dengan jaring yang dipasang pemda DKI Jakarta di atas kali yang memanjang membelah wisma atlet dan perkampungan warga. Yah dari luar sih jaring penutup terlihat indah, meski masih sedikit bau di beberapa titik. Perkampungan warga, meski tidak bisa menghilangkan kesan sebagai hunian kelas bawah, tertolong oleh warna-warni yang mencolok.