Kemaren (25/7/2018) saya ada keperluan ke Bandung menemui seseorang yang dulunya teman kerja saya di kantor pusat sebuah perusahaan milik negara di Jakarta, namun sejak dua tahun lalu dimutasikan ke Bandung. Seperti biasa saya menggunakan kendaraan butut satu-satunya yang saya miliki dan mengajak teman saya yang sekaligus berfungsi sebagai sopir.
Kemampuan saya bila berada di belakang setir memang hanya sekadar asal bisa. Track record saya dipenuhi banyak catatan merah seperti bersenggolan dengan angkot dan menabrak pagar rumah sendiri. Jadi, demi keselamatan, saya memilih menyerahkan setir kepada yang lebih mampu.Â
Namun dalam kondisi macet parah di jalan tol Jakarta - Bandung, mulai dari Kilometer 12 sampai 40-an, saya tidak tahan untuk tidak berkomentar yang bernada menggurui ke teman saya yang memegang setir. Saya tidak sabar melihat ia selalu setia  di jalur kanan yang amat padat, nyaris tidak bergerak, sementara di sisi paling kiri kelihatan lebih longgar.
Saya berhasil memaksa teman yang sopir itu tadi untuk pindah jalur, meski dilakukannya dengan bersusah payah. Eh, begitu mobil saya sudah di sisi kiri, justru giliran yang paling kanan yang mulai lancar, sementara mobil saya tetap saja terkena macet parah. Untung saja teman saya sabar, tidak balas mengatakan saya salah dengan mengarahkan ia ke jalur kiri.
Setelah itu saya diam saja, saya percayakan sang teman untuk memilih lajur yang dimauinya. Soalnya di samping saya takut keliru lagi, saya juga tiba-tiba teringat kisah seorang sopir di kantor tempat saya bekerja yang sekitar 3 tahun lalu pernah bikin heboh.Â
Ceritanya begini, sang sopir lagi bertugas membawa seorang kepala divisi dengan mobil dinas. Tujuannya ke Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng dari kantor di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Si pejabat rupanya terlalu nyinyir mengarahkan sopir untuk pindah-pindah jalur termasuk dengan melalui jalan tikus agar cepat sampai di tujuan.
Namun rupanya si sopir bertelinga tipis. Meskipun secara kelas sosial atau kepangkatan di kantor, sopir jauh di bawah level si pejabat, kalau sesuatu sudah melampau batas kesabarannya, bisa bertindak keras.Â
Begitulah, tanpa diduga si pejabat, si sopir tiba-tiba menepi, mematikan mesin kendaraan, lalu menyerahkan kunci mobil ke si pejabat, sambil berkata kesal: "Nih, sekalian bapak saja yang bawa mobil sendiri". Â Si sopir pun turun, naik bus balik ke kantor dan melapor ke atasannya, supervisor yang mengkoordinir para sopir kantor.
Kesimpulannya, komentar yang terlalu berlebihan, kritik overdosis, nyelekit, pedas, menggurui secara emosional, dari orang-orang yang berlagak sok tahu terhadap orang lain yang lagi bertugas di bidangnya, perlu mewaspadai bahwa betapapun derajatnya jauh di bawah, orang lain yang digurui punya batas kesabaran.
Bahkan bila yang berkomentar adalah seseorang yang tugasnya memang menjadi guru, seperti guru di sekolah terhadap muridnya, atau pelatih sepak bola terhadap pemainnya, kalau dilakukan secara kelewat batas, bisa berdampak buruk dengan terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan.Â
Namun, bila yang berkomentar adalah masyarakat biasa terhadap kinerja bupatinya, gubernurnya, atau presidennya, walaupun sang pejabat punya kekuasaan, memang dituntut kesabaran yang luar biasa dari sang pejabat, jangan terpancing emosinya. Kalau ini kan ibarat komentar penonton sepak bola yang gampang berteriak goblok terhadap pemain yang gagal memanfaatkan peluang untuk mencetak gol.