Ternyata, dari kacamata Tony, memang ada perubahan itu, tapi ke arah yang makin parah. Bila Tony memaksa sang istri untuk menjelaskan suatu hal, dijawab dengan nada kesal. Dulu, di awal mereka membangun rumah tangga, belum seperti itu.Â
Namun Tony tidak menyangkal dan bersyukur bahwa kelebihan istrinya yang dulu tetap terpelihara. Sang istri tidak materialistis, tidak banyak mengeluh, mampu mandiri, sehingga Tony tak pernah kawatir bila dinas ke luar daerah. Urusan pendidikan atau kesehatan anak-anak relatif tertangani dengan baik.
Saya teringat apa yang saya baca di sebuah rubrik konsultasi psikologi, hanya ada tiga cara dalam menghadapi stres, yakni menerima, mengubah, atau menghindar. Itulah yang saya sampaikan pada Tony.Â
Sebetulnya dengan Tony lebih menyukai lembur di kantor ketimbang pulang ke rumah, sudah memperlihatkan cara yang ditempuhnya yakni menghindar. Tapi ide untuk menghindar dalam jangka panjang, katakanlah semacam pisah ranjang, ditolak mentah-mentah oleh Tony. Tony mengaku tidak tahan kalau tidak ketemu anak-anaknya.
Nah, ini saya maknai bahwa Tony masih beritikad baik untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga. Maka saya bertanya apakah Tony sudah semaksimal mungkin mencoba mengubah gaya komuikasi sang istri. Tony mengaku sudah sering menunjukkan ke sang istri, gaya komunikasi yang seperti apa yang bisa membuatnya nyaman. Namun Tony sekarang sudah angkat tangan, kayaknya itu sudah dari sono-nya alias tidak bisa diperbaiki lagi.
Maka sesi curhat Tony saya tutup dengan satu kalimat: "Cobalah menerima dengan lapang dada, jangan masukin ke hati, toh kalian kan masih saling mencintai". "Akan saya coba", jawab Tony pendek. Semoga teman saya ini berhasil mengatasi stresnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H