Maraknya kasus korupsi dalam berbagai proyek pembangunan, membuat ada semacam ketakutan bagi pejabat untuk menunda-nunda memulai proyek baru. Pejabat yang berwenang baru berani memberikan persetujuan bila telah di-endorse oleh auditor, dalam hal ini lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Seperti kasus pembangunan gedung kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Sumatera Barat, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan bahwa sebelum memberikan persetujuan, ia telah berkonsultasi dengan BPKP. Tanpa review BPKP, ia tak bersedia tanda tangan (Kompas, 4/5/2018).
Sayangnya, proyek tersebut di atas tetap memunculkan kasus korupsi, yang saat ini berkas penyidikannya oleh KPK telah rampung, dan segera memasuki tahap penuntutan (detik.com 21/5/2018).
Terlepas dari kasus IPDN dimaksud, sebetulnya sudah jelas pemisahan tugas antara berbagai pihak dalam pembangunan suatu proyek. Pihak auditor adalah pihak yang baru bekerja setelah suatu proyek selesai dibangun, dengan membandingkan apakah proyek tersebut telah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Bila ada penyimpangan, maka akan menjadi temuan audit.
Bila berkaca pada apa yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan besar (birokrasi di pemerintahan pada prinsipnya juga menjalankan hal ini), maka antar pihak terkait harus ada independensi peran dan fungsinya, sehingga tidak menimbulkan kolusi yang merugikan perusahaan. Atau tidak ada kesan telah memenuhi semua persyaratan hanya karena anggota tim berasal dari banyak pihak.
Ada pihak yang menyusun kebijakan dan prosedur dalam melaksanakan suatu proyek, ada pihak yang menyusun perencanaan suatu proyek, pihak yang menyetujui rencana tersebut, pihak pelaksana, dan baru terakhir pihak auditor. Di perusahaan, dikenal dua kelompok auditor, yakni auditor internal yang masuk dalam struktur organisasi perusahaan dan auditor eksternal yang dikontrak untuk jangka waktu tertentu.
Akan sangat kabur fungsinya bila semua tahapan di atas dilakukan secara bersama-sama. Memang ada perusahaan yang ingin main aman, sehingga dalam sebuah tim pembangunan proyek, menampung semua pihak sekaligus, ada pembuat kebijakan dan prosedur serta ada pula auditornya yang "mengawal" proyek.
Cara "keroyokan" tersebut bisa berdampak negatif. Misalnya, kebijakan dan prosedur bisa direvisi seenaknya agar pelaksanan di lapangan tidak menemui hambatan. Artinya, kebijakan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan. Keberadaan auditor sebelum proyek dimulai, juga seolah-olah menjustifikasi bahwa proyek tersebut akan berlangsung clean.Â
Kebijakan dan prosedur seharusnya tersusun dalam sebuah buku yang jadi pedoman kerja. Memang buku tersebut bukan kitab suci yang tak bisa diganti. Lazimnya setelah melewati beberapa tahun, atau karena ada perkembangan teknologi, bisa saja buku pedoman itu direvisi. Tapi jelas bukan untuk mengakomodir suatu proyek, karena sifatnya berlaku secara umum.
Buku pedoman tersebut sekaligus menjadi acuan auditor dalam memeriksa suatu proyek yang telah selesai, apakah ada penyimpangan atau tidak. Jadi, auditor bukanlah mencari-cari kesalahan, karena standar yang jadi acuannya sudah jelas.Â
Demi memenuhi good governance, tak bisa lain, masing-masing pihak harus saling menghormati, bukan saling mengintervensi atau saling meng-endorse. Pihak pelaksana proyek harus sangat memahami ketentuan yang menjadi menjadi pedoman kerjanya sampai kepada hal-hal yang rinci.Â
Jika ada ketentuan yang multi tafsir, tentu mereka boleh bertanya secara case by case ke pihak pembuat kebijakan, tapi bukan dengan menjadikan pihak pembuat kebijakan sebagai bagian dari tim pelaksana.Â
Demikian juga auditor, perannya adalah di belakang, setelah pelaksanaan. Bila ada temuan auditor, padahal pelaksana sudah merasa sesuai aturan, toh biasanya diberi kesempatan untuk memberi tanggapan, termasuk dengan meminta bantuan pihak pembuat kebijakan sekiranya ada aturan yang multi tafsir.
Kesimpulannya, tim pelaksana sebaiknya jangan lagi melibatkan pihak lain agar merasa ada pengawal. Yang diperlukan sebenarnya hanyalah memahami ketentuan yang ada dan konsisten untuk mematuhinya. Pihak lain seperti auditor seyogianya juga menolak kalau diminta untuk ikut mendampingi tim pelaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H