Orang Minang terkenal sebagai perantau yang tangguh. Tak heran kalau jumlah para perantau Minang yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, bahkan sampai ke semua benua, jumlahnya lebih banyak dari yang berdomisili di Sumatera Barat. Namun, ikatan emosional para perantau dengan kampung halamannya tak pernah luntur.
Salah satu bukti ikatan tersebut adalah kegiatan pulang basamo (pulang bersama) saat lebaran (orang Minang menyebutnya sebagai ari rayo). Saat itulah para perantau pulang ke nagari (desa) asalnya. Mereka tidak sekadar berlebaran, tapi ikut memberikan sumbangan pemikiran, sumbangan dana untuk pembangunan, dan membuat berbagai acara di nagari masing-masing.
Tulisan ini khusus mengangkat kegiatan di Nagari Padang Tarok, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Padang Tarok terletak di pertengahan antara dua kota, Bukittinggi dan Payakumbuh. Dari Padang Tarok kedua kota tersebut sama-sama berjarak sekitar 16 km.
Para perantau asal Padang Tarok sebagian besar berdomisili di Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, dan DKI Jakarta. Namun ada juga yang merantau ke Bali, bahkan tidak sedikit yang mencari nafkah di Malaysia. Di samping itu tentu juga banyak yang merantau ke berbagai kota di Sumbar, khususnya di Padang sebagai ibukota provinsi.
Dalam rangka merayakan hari raya Idulfitri baru-baru ini, dimotori oleh para perantau, diadakan serangkaian acara di Padang Tarok. Ada acara yang bersifat hiburan yakni pertandingan sepak bola dengan para pemain gabungan para perantau dan pemuda yang tinggal di kampung.
Pertandingan berlangsung di Lapangan Talang Andih, Padang Tarok, yang terletak di pinggang perbukitan yang sekaligus menjadi latar belakang yang indah di lapangan tersebut.Â
Padang Tarok memang sebuah nagari yang punya pemandangan yang memikat dengan luasnya area persawahan, kebun di perbukitan, sungai dengan air yang jernih, serta jalan negara yang menghubungkan dua ibukota provinsi, Padang dan Pekanbaru.Â
Ada jalan raya yang amat lurus sepanjang sekitar 1 km yang membelah nagari Padang Tarok. Jadi kalau boleh becanda, jika ada yang mengucapkan:"tunjukilah kami jalan yang lurus", ya di Padang Tarok-lah tempatnya.
Menariknya saat penutupan Rantau Cup, Rabu (20/6) yang lalu, diakhiri dengan acara makan bersama di lapangan. Nasi dan lauk pauknya ditarok di jejeran panjang daun pisang yang saling menyambung. Para pemain, panitia, dan penonton ikut makan dalam acara yang penuh keakraban ini.
Selain itu, diadakan pula pertemuan untuk merancang berbagai program pembangunan bagi masyarakat Padang Tarok yang sumber dananya berasal dari donasi para perantau. Hal ini sangat penting bagi kemajuan nagari mengingat kalau hanya mengandalkan dana dari pemerintah, sangat jauh dari mencukupi.
Beberapa program yang digagas adalah pengadaan sarana pertanian, kursus bahasa Inggris secara gratis, bantuan bagi guru-guru mengaji, pengadaan buku umum, buku agama, termasuk kitab suci Al Qor'an, dan sebagainya.
Salah satu wanita perantau asal Padang Tarok adalah dr. Marlina Tasril, SpPD, KHOM. Sebuah klinik di Pekanbaru yang dikelola ibu dokter tersebut sudah beberapa kali melakukan kegiatan sosial seperti khitanan masal bagi warga kurang mampu, senam kesehatan, pembagian sembako, dan sebagainya. Tentu klinik tersebut menjadi tempat favorit bagi perantau asal Padang Tarok di Pekanbaru bila ada masalah dengan kesehatan.
Perlu diketahui bahwa di Sumbar, meskipun semuanya berbahasa Minang, namun ada istilah dan dialek yang hanya terdapat di suatu nagari. Namun karena pengaruh pergaulan dengan orang kota, perlahan istilah khas tersebut mulai menghilang, dan itulah yang digali dan dibangkitkan lagi melalui penjualan kaos dimaksud.Â
Sebetulnya potensi terbesar adalah mengembangkan agrowisata di perbukitan yang memagari nagari Padang Tarok. Namun tentu saja hal tersebut butuh investasi yang relatif besar. Apalagi kalau dibangun secara terpadu dengan resort, cafe, arena hiking, dan sarana penunjang lainnya. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana melatih warga lokal agar kompeten dalam melayani para pelancong.