Lebaran tahun ini sudah di depan mata. Di hari raya tersebut, menyambung silaturahmi dengan famili, tetangga, atau sahabat, menjadi tema utama. Kalau tidak didatangi, ya mendatangi, meskipun bila memang tidak memungkinkan untuk bertemu langsung, saling kontak melalui dunia maya juga gampang dilakukan.
Bila bertemu langsung, maka sudah barang tentu antara tamu dan tuan rumah, ada semacam pertukaran bahan pembicaraan. Namun awalnya lazim dimulai dengan sejumlah pertanyaan yang sifatnya basa basi.Â
Yang namanya basa basi seharusnya tidak rumit untuk menjawabnya, bisa dengan basa basi pula. Seperti pertanyaan tentang apakah sehat-sehat saja, seharusnya tanpa dijawab pun, sudah terlihat dari fisiknya. Kalau lagi sakit tentu mereka tidak bisa berbincang-bincang dengan nyaman.
Tapi pertanyaan yang timbul karena penampilan fisik, bisa juga jadi merusak hati yang ditanya. Contohnya, sering seseorang bertanya kepada lawan bicaranya: kok makin gemuk aja? Lagi hamil ya? Atau, kok makin botak aja? Wah, jenggotnya makin panjang nih.
Maksudnya sih mungkin bercanda atau semacam ice breaking dalam teori kominikasi. Namun, kalau yang ditanya tidak suka dengan pertanyaan tersebut, sebaiknya tidak perlu menjawab, cukup senyum saja.Â
Masih berkaitan dengan fisik, sebaliknya tentu ada pertanyaan atau pernyataan yang menyejukkan seperti ini; makin cakep aja nih, apa sih rahasianya kok tampaknya awet muda, dan yang sejenis dengan itu. Yang ditanya pasti tersanjung dan komunikasi selanjutnya menjadi lancar.
Nah, sekarang masuk ke inti persoalan, yakni adanya pertanyaan yang mungkin basa basi dan bersifat standar, namun bagi orang-orang tertentu "alergi" mendengarnya. Sampai-sampai orang seperti ini cenderung tersiksa di saat lebaran dan memilih mengurung diri di kamarnya.
Seorang perempuan yang masih melajang  di umur sudah kepala tiga atau lebih dari itu, umumnya bosan kalau ditanya kapan mau menikah, kapan mau ngundang, mana nih pasangannya, atau kalimat lain yang senada. Bagi perempuan yang sudah berumah tangga bertahun-tahun namun masih belum punya momongan, akan ngeri bila ditodong pertanyaan tentang berapa orang anaknya.
Seorang mahasiswa "abadi" pasti gelagapan bila ditanya bagaimana kuliahnya? (padahal udah di ujung tanduk, terancam drop out). Â Atau setelah lulus sarjana tapi masih belum dapat pekerjaan, maka ia ketakutan saat ditanya bekerja di mana? Sudah bekerja pun, apabila karirnya slow saja, akan takut ditanya sekarang memegang apa (maksudnya jabatannya apa) di kantor.
Namun tentu saja ada orang yang sangat siap bila ditanya sesuatu, bahkan tanpa ditanya pun dengan senangnya berbagi cerita. Contohnya adalah mereka yang karirnya di kantor lagi menanjak. Pengalamannya sampai sukses meraih posisi yang tinggi, tugas-tugasnya, perjalanan dinasnya ke luar negeri, akan menjadi sumber cerita yang bisa sulit untuk dihentikan.
Demikian pula orang tua yang anak-anaknya sukses diterima kuliah di perguruan tinggi terkenal, atau baru diwisuda sudah dapat pekerjaan di tempat yang bonafide. Pokoknya bila ada sesuatu yang mengandung arti kesuksesan, maka berlebaran adalah ajang yang pas untuk mendapat pengakuan orang lain atas kesuksesan tersebut.
Masalahnya, bila kita berada dalam posisi belum punya kesuksesan seperti contoh sebelumnya (belum menikah meski sudah berumur, belum punya anak meski sudah menikah sekian tahun, belum punya pekerjaan, belum punya jabatan, dan sebagainya), perlukah gara-gara itu kita tidak mau bersilaturahmi dengan sanak famili dan karib kerabat?
Justru semain kita menghindar, semakin mental kita tertekan. Yang penting percaya diri saja, dan jawab dengan kalimat pendek bernada diplomatis, kemudian segera balik bertanya persoalan lain untuk mengalihkan topik pembicaran. Artinya jangan biarkan larut dengan topik yang kita alergi membahasnya.Â
Seseorang yang sudah menganggur lama meskipun bergelar sarjana, bisa saja menjawab: "masih berjuang, mohon doanya" saat ditanya bekerja di mana. Seorang suami yang baru terkena PHK namun istrinya masih bekerja, dengan senyum bisa menjawab :"antar jemput istri" sebagai aktivitas sehari-harinya.
Demikian pula mantan pejabat yang baru memasuki masa pensiun. Gak perlu berapi-api menceritakan kejayaan masa lalunya, yang malah bisa dinilai sebagai penderita post power syndrome. Santai aja bilang jadi MC alias momong cucu, bila ada yang bertanya apa kegiatannya sekarang.Â
Memang akan lebih "berbunyi" bila masih punya kegiatan yang produktif seperti berkebun, ikut komunitas tertentu sesuai hobi, pengurus yayasan agama atau sosial, mengajar di perguruan tinggi swasta, dan sebagainya, yang menjadi "pelepas tanya".Â
Maksudnya, bila ada yang bertanya, sudah punya jawaban yang mantap, meskipun kegiatan tersebut hanya dijalani satu atau dua hari saja dalam seminggu. Namun, momong cucu pun, asal diucapkan dengan percaya diri disertai senyum mengembang, tetap mendapat respek dari si penanya.Â
Jadi, bersilaturahmi itu penting, bahkan banyak yang mengatakannya memperpanjang umur. Tak perlu kecil hati dengan kondisi kita yang kurang menguntungkan.Â
Siapa tahu dari awalnya sekadar silaturahmi bisa menjadi langkah pembuka untuk mendapat jodoh, pekerjaan, dan hal lainnya yang selama ini belum tercapai. Semakin banyak bersilaturahmi, semakin banyak pula informasi baru yang mungkin bermanfaat bagi kita.
Demikian saja, selamat berlebaran bagi pembaca yang merayakannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H