Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pancasila Itu Sederhana, Kembali ke Hati Nurani

2 Juni 2018   08:40 Diperbarui: 2 Juni 2018   08:46 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemaren tanggal 1 Juni kita memperingati Hari Lahirnya Pancasila. Salah satu stasiun televisi menayangkan acara khusus sehubungan dengan peringatan tersebut.

Dalam acara itu ada reporter yang mencari beberapa orang secara acak yang lagi menunggu kendaraan atau yang lagi berjalan di trotoar. Reporter meminta orang yang ditemuinya itu untuk menyebutkan satu sila. 

Ada yang ditanya sila ke 4, ada yang sila ke 2. Maksudnya sengaja tidak menyebutkan secara berurutan, agar diketahui kemampuan spontanitas seseorang menjawab pertanyaan yang tak terduga.

Atas pertanyaan tersebut, ternyata ada orang yang kalau melihat penampilannya termasuk orang kantoran, yang tidak mampu menjawab, menjawab dengan terbata-bata, atau yang menjawab setelah berpikir lama sekali.

Ternyata bagi orang kantoran yang relatif  terdidik, kalau mereka telah lama bekerja di perusahaan swasta yang tidak pernah atau jarang sekali melakukan upacara bendera, tidak lagi gampang mengingat kalimat dalam Pancasila secara persis. 

Padahal waktu mereka masih duduk di bangku sekolah, pasti bunyi semua sila dalam Pancasila hafal di luar kepala. Lalu kalau begitu apakah orang kantoran kalah pancasilais ketimbang anak sekolah? Bukan sesederhana itu.

Pancasila lebih kepada nilai-nilai yang tertanam pada setiap individu sebagai warga negara Indonesia. Indikasinya adalah perbuatan atau perilaku kita sehari-hari.

Maka atas dasar itu, ada 4 kelompok bagaimana hubungan sesorang dengan Pancasila. Kelompok pertama adalah kelompok yang ideal, yakni mereka yang hafal dan juga mengamalkannya dalam keseharian.

Namun mereka yang mengamalkan, meskipun tidak hafal seperti para petani di desa yang sehari-hari bersikap jujur, rajin beribadah, toleran dengan tetangga yang berbeda agama, sekadar menyebut beberapa contoh pengamalan Pancasila, jauh lebih baik ketimbang kelompok berikutnya yang hafal, tapi tidak mengamalkan.

Jadi pejabat yang korup, pegawai negeri yang mengutip pungli, politisi yang senang mengumbar kalimat yang provokatif penuh caci maki, yang suka menyebar ujaran kebencian di media sosial, boleh jadi mereka sangat hafal dengan Pancasila. Namun perilaku kesehariannya sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Kelompok paling bawah, tentu saja mereka yang tidak hafal dan sekaligus tidak mengamalkan Pancasila. Mereka mungkin para preman yang berbuat kriminal di jalanan, pelaku tawuran antar geng, dan sebagainya. Namun mereka ini bisa juga dipandang sebagai korban dari ketimpangan sosial, yang sekaligus cermin dari ketidadakmampuan negara dalam mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam Pancasila.

Mengamalkan Pancasila itu sebetulnya sederhana, bukan sesuatu yang rumit seperti perdebatan di seminar ilmiah. Soalnya Pancasila itu adalah warisan dari nenek moyang yang telah ada di rumah kita sendiri sejak dulu, yang sekarang mungkin berdebu dan berkarat karena kurang terpelihara.

Intinya kita harus kembali ke hati nurani. Bila melihat ada tetangga yang hidup susah, tanya nurani kita, tega kah kita lalu lalang di depan mereka membawa beberapa kantong belanjaan dari mal mewah. Apa salahnya kita memberikan sedikit dari yang kita belanjakan.

Bila ada perbedaan pendapat dengan teman lain, tanya hati nurani, perlukah bersitegang urat leher untuk menegakkan kebenaran versi masing-masing? Di mana nilai musyawarahnya?, di mana nilai toleransinya?

Bila kita membaca tulisan yang mengahasut untuk membenci suku tertentu atau pemeluk agama tertentu dengan alasan mereka telah merebut panggung ekonomi Indonesia, tanya hati nurani, apa kita memang menginginkan perang saudara. Di mana nilai persatuannya?

Makanya membicarakan Pancasila jangan membayangkan sekadar upacara bendera dan pidato cuap-cuap para pejabat. Pancasila itu bersemayam di hati nurati kita sendiri. Jika apinya mulai redup, ayo kobarkan lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun