Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asal Usul Baju Koko dan Jejak Perjuangan Abdul Karim Oei

27 Mei 2018   13:56 Diperbarui: 27 Mei 2018   14:08 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Lautze (dok. kompas.com)

Kebetulan saya lagi menonton tayangan dari Kompas TV di Minggu pagi (27/5). Acaranya membahas sejarah baju koko yang sekarang identik sebagai pakaian muslim, yang biasanya dipakai untuk beribadah ke masjid atau untuk mengikuti acara pengajian, selamatan, dan acara lain yang berbau spritiual. 

Dalam acara tersebut, Kompas TV  juga menghadirkan beberapa narasumber, dan yang menarik perhatian saya adalah wawancara dengan Ali Karim Oei, Ketua Umum Yayasan Haji Karim Oei sekaligus Pengurus Masjid Lautze, sebuah masjid di Jalan Lautze, kawasan pecinan Jakarta.

Baju koko dibawa oleh para pendatang dari Tiongkok beberapa abad yang lalu. Istilah koko sendiri adalah lafal yang diucapkan oleh masyarakat umum untuk menyebutkan baju yang dipakai engkoh-engkoh. 

Ternyata dalam perkembangannya kemudian, saat warga keturunan Tionghoa sendiri mulai meninggalkan baju koko, banyak masyarakat yang nyaman memakai baju koko kalau pergi ke masjid karena lebih praktis. Dan akhirnya seperti yang kita lihat sekarang makna baju koko sudah bergeser menjadi baju muslim.

Bahkan sesuai dengan perkembangan mode, baju koko semakin banyak variasinya. Ada yang bermotif batik. Ada pula yang dipopulerkan oleh figur tertentu dan menjadi trend mode baru, seperti baju model UJ (sering dipakai almarhum Uztad Jefri Al Buchori), dan baju koko ala SBY, yang sering dipakai mantan presiden SBY.Jelaslah bahwa baju koko merupakan bukti yang tak terbantahkan betapa saudara-saudara kita keturunan Tionghoa sejak dahulu telah membaur dengan warga berbagai suku yang mendiami nusantara ini. 

Perkembangan agama Islam di sebagian kawasan di negara kita, ternyata dulunya juga berkat kedatangan pelaut dan penjelajah dari Tiongkok,  yang bernama Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho beberapa kali melakukan ekspedisi ke Asia Tenggara, termasuk Sumatera dan Jawa, selama rentang waktu dari tahun 1405 sampai 1433.

Dalam sejarah Indonesia modern, pahlawan keturunan Tionghoa yang beragama Islam, yang paling menonjol adalah Abdul Karim Oei Tjeng Hien, yang lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, 6 Juni 1905, dan meninggal di Jakarta, 14 Oktober 1988.

Abdul Karim Oei adalah pendiri organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) dan sekaligus sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah. Abdul Karim Oei juga turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bersama Soekarno dan Buya Hamka, sebagaimana yang ditulis Wikipedia.

Agar jejak perjuangan Haji Abdul Karim Oey bisa dipelihara dan menjadi sarana edukasi, maka didirikanlah Yayasan Haji Karim Oei, yang dipimpin oleh salah satu putranya, Ali Karim Oey. Yayasan inilah yang membangun Masjid Lautze di tahun 1991.

Masjid Lautze tidak ada menara dan kubahnya, bahkan justru ada ornamen mirip kelenteng atau wihara, agar kalangan keturunan Tionghoa tidak asing terhadap Islam. Masjid yang terletak di deretan ruko berlantai tiga di bilangan Sawah Besar, Jakarta, tersebut menjadi pilihan banyak warga keturunan Tionghoa yang berniat menjadi mualaf.

Menurut Ali Karim dalam wawancara dengan Kompas TV, setiap bulan rata-rata ada 5 sampai 6 orang mualaf yang berikrar dengan mengucapkan kalimat syahadat di Masjid Lautze. 

Masjid Lautze (dok. kompas.com)
Masjid Lautze (dok. kompas.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun