Hari ini 20 tahun yang lalu, Presiden Soeharto yang telah memegang tampuk kekuasaan selama 32 tahun, mengundurkan diri. Inilah hasil perjuangan banyak pihak, dimotori oleh para mahasiswa, yang menuntut reformasi dalam pemerintahan Republik Indonesia, dengan mengusung tema "Hentikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)".
Reformasi telah mengantarkan bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih bebas dalam berpendapat, dibentuknya berbagai lembaga baru untuk menghindari praktik KKN, semaraknya gairah berpolitik dengan munculnya banyak partai baru, terselenggaranya pemilu yang lebih baik yang menghasilkan pergantian kekuasaan secara relatif mulus, dan sebagainya, yang pantas kita syukuri dan pelihara.
Namun agak ironis, dalam memperingati 20 tahun reformasi, belum terdengar berita adanya acara resmi dari negara, sebagaimana acara peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober. Peringatan ini berkaitan dengan gagalnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang akhirnya melahirkan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, dan 32 tahun kemudian ditumbangkan oleh gerakan reformasi.
Padahal tanpa reformasi, sulit membayangkan bahwa Indonesia bisa mempunyai Presiden seperti seorang BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Presiden saat ini Joko Widodo. Sulit pula membayangkan bagaimana para pejabat tingi seperti Ketua DPR, Ketua DPD, beberapa orang menteri, gubernur, bisa dijerat oleh KPK.Â
Semoga saja, bila memang tidak ada peringatan resmi yang bersifat kenegaraan, segenap masyarakat, termasuk mahasiswa sebagai pemilik masa depan, tetap memelihara ingatan kolektif bangsa tentang peristiwa yang terjadi 20 tahun yang lalu. Esensi perjuangannya dalam mengikis KKN harus tetap kita pegang erat, karena praktik KKN ternyata tetap tumbuh subur. Jangan sampai perjuangan kita mengendor.
Namun peristiwa kerusuhan massal yang mendahului tumbangnya Soeharto kita kenang sebagai pelajaran berharga yang amat mahal, untuk tidak terulang kembali. Persatuan Indonesia adalah harga mati dengan memelihara kerukunan antar berbagai golongan yang ada di tanah air.Â
Nah, persatuan tersebut akan semakin mudah terwujud apabila kesenjangan antar golongan kaya dan miskin bisa dipersempit. Tidak bisa dipungkiri, selama 20 tahun reformasi, sejumlah kemajuan di bidang ekonomi telah tercapai, terutama dalam pengendalian inflasi, pertumbuhan ekonomi, kenaikan cadangan devisa, turunnya persentase penduduk miskin, dan sebagainya.
Kesenjangan tersebut dalam ilmu ekonomi diukur dengan Rasio Gini. Dalam hal ini, data menunjukkan terjadinya pelebaran kesenjangan. Dikutip dari Kompas hari ini (21/5), rasio ini pada tahun 1999 adalah 0,311, namun menjadi 0,391 pada akhir tahun 2017. Padahal dalam membaca rasio Gini, semakin kecil atau semakin mendekati nol, berarti semakin merata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H