Hari ini pemberitaan di berbagai media dihebohkan dengan kerusuhan yang dilakukan para tahanan kasus terorisme di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Tapi selain itu terselip berita dari negara jiran Malaysia tentang kemenangan politisi gaek berusia 92 tahun, Mahathir Mohamad, dalam pemilu yang digelar Rabu (9/5) kemaren, mengalahkan petahana Perdana Menteri Najib Razak dari Barisan Nasional (BN). Padahal BN selama ini tidak tergoyahkan sejak Malaysia merdeka 60 tahun lalu.
Di media sosial, paling tidak di grup percakapan dunia maya yang saya ikuti, beredar dua tulisan berupa ulasan terkait kehebatan Mahathir yang akan menjadi perdana menteri paling tua dalam sejarah, tidak saja di Malaysia, tapi di dunia.Â
Pertama, tulisan Dahlan Iskan yang memaparkan bagaimana serunya hasil perhitungan cepat dari menit ke menit. Awalnya BN unggul ketika masuk suara dari Sarawak, yang bertetangga dengan Kalimantan Barat. Tapi begitu suara dari kawasan semenanjung mulai masuk, Pakatan Harapan (PH) yang dipimpin Mahathir mulai unggul, bahkan jaraknya semakin jauh meninggalkan BN ketika suara dari Johor masuk.
Rekan Dahlan Iskan di Malaysia menyebutkan Johor terkena "tsunami", karena daerah yang selama ini menjadi tambang suara BN dijebol oleh PH. Johor adalah negara bagian yang paling mencolok investasi barunya dari Tiongkok, khususnya real estate yang dibangun menghadap Singapura. Penuh pencakar langit, tapi kami hanya bisa menontonnya, kata sopir taksi yang mengantar Dahlan Iskan dua bulan yang lalu.
Menurut Dahlan, di samping investasi Tiongkok yang berlebihan dan mahal, gaya hidup ibu negara serta tuduhan kasus mega korupsi 700 juta dollar AS yang dialamatkan ke Najib Razak, menjadi faktor utama tumbangnya BN.
Yang lebih menarik adalah tulisan dari Denny JA, konsultan politik ternama yang sukses ikut memenangkan 3 kali pemilu presiden di Indonesia. Ternyata Denny diundang oleh Menteri Besar (di Indonesia Gubernur) Selangor, Mohamed Azmin Ali, pada bulan Februari 2016. Azmin sudah mempertimbangkan banyak konsultan politik, termasuk dari Amerika Serikat, tapi akhirnya memilih konsultan Indonesia yang dinilai lebih mengerti budaya Malaysia.
Pendek cerita, Azmin waktu itu tengah galau karena diajak bergabung oleh Mahathir, pada saat bersamaan juga diajak oleh Anwar Ibrahim. Dua-duanya guru politik Azmin tapi kemudian mereka bermusuhan, bahkan Anwar dipenjarakan oleh Mahathir.
Ada 3 saran dari Denny, pertama, demi tumbuhnya demokrasi, Malaysia harus pernah mengalami pergantian kekuasaan. Kedua, agar terjadi pergantian kekuasaan, rakyat harus dikondisikan merasa perlu adanya pergantian itu. Harus ada kelemahan BN yang kasat mata atau dibuat kasat mata, dan terus disebar sampai rakyat berkata: "Aha, kita harus bersatu mengalahkan BN".
Ketiga, BN itu raksasa, yang hanya bisa dikalahkan oleh raksasa yang lebih kuat. Oposisi harus bersatu. Cari semua cara agar Mahathir dan Anwar bersatu kembali, kata Denny. Tapi Azmin bertanya, apa mungkin? Karena perseteruan pribadi Mahathir dan Anwar sudah begitu dalam, hinga merasuk ke pengikut masing-masing. Semua merasa yang satu mengkhianati  yang lain. Namun Denny membalas bahwa itu mungkin saja, bila Azmin sendiri yang merekatkan mereka.
Maka dua musuh besar bersatu kembali untuk tujuan yang lebih besar. Anwar dalam penjara bersepakat dengan Mahathir, bahwa bila Mahathiir berkauasa, akan mengeluarkan Anwar dari penjara, dan menjadikan Anwar penguasa berikutnya.
Barangkali apa yang ditulis Dahlan tentang penyebab jatuhnya Najib Razak bukanlah hal baru. Saran Denny pun juga mungkin tidak istimewa karena dalam dunia politik apapun bisa terjadi. Tapi yang ingin saya tekankan bahwa meskipun sistem politik Malaysia berbeda dengan kita, tetap menarik untuk disimak. Malaysia boleh saja lebih makmur, tapi soal politik mereka perlu berguru pada Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H