Sudah dua minggu ini bioskop-bioskop di tanah air diguncangkan oleh sebuah film yang berjudul Avengers, Infinity War. Saat tayang perdana tanggal 25 April yang lalu, ada 1.270 layar bioskop yang memutarnya dengan jumlah penonton sekitar 540.000 orang dan meraup pendapatan Rp 25,2 milyar (data dari Voice.Magz.com.).
Lalu di hari ketiga jumlah layar ditambah menjadi 1.379 layar di seantero Indonesia. Bayangkan, padahal menurut data akhir tahun 2017, jumlah bioskop di negara kita sebanyak 263 gedung dengan 1.412 layar. Artinya katakanlah di satu bioskop ada yang punya 5 layar, 4 di antaranya dialokasikan untuk film tersebut agar mampu menampung permintaan para penonton yang membludak. Wajar bila film ini disebut-sebut akan memecahkan rekor penonton terbanyak se dunia.
Jauh sebelumnya, film produksi Marvel ini memang sudah digaungkan sedemikian rupa, sehingga demam Avengers bisa dikatakan melanda seluruh dunia, mengingat dominasi perfilman Hollywood di banyak negara, dan sepertinya mereka bisa "mendikte" selera pasar di manapun juga dengan kecanggihan produksi dan promosinya.Â
Indonesia tidak terlepas dari "jajahan" film-film Hollywood, dan bahkan diakui sebagai pasar yang sangat potensial sehingga diberi kehormatan penayangan perdananya  dua hari lebih awal ketimbang di Amerika Serikat. Kalau penggiat film nasional prihatin dengan kondisi ini tentu wajar. Tapi solusinya bukan dengan menghambat film impor, namun dengan meningkatkan mutu film nasional.
Saya jujur saja bukan penggemar film-film superhero, di mana dalam Avengers seluruh superhero-nya disatupanggungkan (inilah yang menyebabkan para remaja dan anak muda histeris menonton aksi kolaborasi para superhero). Tapi karena saya sungguh penasaran dan ingin merasakan auranya, maka saya melangkahkan kaki untuk menonton.Â
Sebagai bukan generasi millenial yang menjadi sasaran utama film ini, saya menyadari pasti akan sulit memahami jalannya kisah Avengers karena tidak menonton film-film produksi Marvel sebelumnya. Bahkan sekadar untuk menyebutkan siapa saja superhero-nya, secara spontan saya hanya mampu mengingat nama-nama berikut: Captain America, Spiderman, Ironman, Thor dan Hulk. Padahal ada banyak yang lainnya, yang dalam Avengers mereka bersatu melawan Thanos untuk menyelamatkan bumi.
Jangan harapkan saya bisa menuliskan cerita film tersebut di sini, karena sampai sekarang pun saya masih bingung, banyak skenario yang kurang masuk logika. Tapi ya sudahlah, film ini memang sebaiknya tidak dinikmati dengan logika, karena bukan bergenre fiksi ilmiah.Â
Maka saya abaikan saja ending-nya yang kurang jelas, ketika banyak superhero yang bertumbangan, sedangkan Thanos dengan 6 buah invinity stones di tangannya masih kokoh. Ini pertanda masih ada kelanjutan Avengers di film berikutnya.Â
Yang membuat saya merasa tidak menyesal menonton Avengers adalah saya bisa menikmati betapa dahsyatnya imajinasi, yang didukung oleh tim produksi yang canggih (kita boleh bangga karena ada dua pemuda Indonesia, Ronny Gani dan Renald Taurusdi ikut menggarap visual effects film ini), lalu dibombardir dengan promosi yang intens, maka kesuksesan sudah bisa diprediksi.
Mudah-mudahan sineas Indonesia bisa melahirkan film superhero versi kita sendiri. Kabar gembiranya, sutradara Angga Dwimas Sasongko sedang membuat film Wiro Sableng, yang bekerja sama dengan Fox International Production. Kita tunggu saja, mudah-mudahan bisa bersaing dengan superhero dari Hollywood.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H