Seorang teman mempertanyakan kenapa setiap mendekati pemilu, ada bank yang terkena kasus besar. Saya sih gak begitu yakin, karena ia hanya mengasih contoh peristiwa Bank Bali dan Bank Century. Secara statistik belum cukup kuat untuk menarik kesimpulan seperti itu.
Tapi terlepas dari hubungannya dengan politik, menarik mengamati apa yang terjadi di Bank Bukopin. Belum lama ini manajemen bank tersebut melakukan suatu hal yang jarang terjadi di perusahaan yang sudah go public atau berstatus terbuka, yakni merevisi laba tahun sebelumnya.
Bukopin telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak tahun 2006. Saat ini publik memiliki 40,48% Â saham Bukopin. Negara juga punya saham meski minoritas (11,43%), sehingga pemerintah mempunyai wakil dalam dewan komisaris bank tersebut. Pemegang saham lainnya adalah Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo) sebesar 25,66%, dan Bosowa Corporindo 22,42%.
Namun berita paling anyar adalah Bosowa telah resmi menambah porsi sahamnya menjadi 30% dengan membeli sebagian saham yang dimiliki Kopelindo, sebagaimana diberitakan beritasatu.com (7/5).
Nah, adapun tentang revisi laba, terungkap dari laporan bank tersebut ke BEI tanggal 25 April 2018. Ringkasnya laba tahun 2016 yang telah diaudit dengan perolehan laba bersih sebesar Rp 1,09 triliun, pada laporan terbaru direvisi menjadi laba hanya sebesar Rp 183,54 miliar.
Penurunan laba tersebut terjadi terutama karena adanya koreksi atas pos pendapatan dari provisi dan komisi lainnya. Sebelumnya pos ini dilaporkan sebesar Rp 1,059 triliun, lalu kemudian dikoreksi menjadi Rp 317,88 miliar (kontan.co.id 27/4).
Keterangan lebih lanjut terdapat pada berita kontan.co.id (2/5) bahwa ternyata revisi di atas terjadi karena Bukopin tersandung soal kartu kredit. Jadi pada tahun 2016 ada kesalahan dalam penyajian data dari bisnis kartu kredit. Namun, kesalahan tersebut baru terdeteksi pada tahun 2017.
Tapi berita di atas masih belum memuaskan dahaga keingintahuan tentang ada apa dengan Bukopin? Setelah dilacak di beberapa media daring lain, terkuaklah bahwa modifikasi dilakukan pada data kartu kredit yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya yang menyebabkan posisi kredit dan pendapatan berbasis komisi bertambah tidak semestinya (cnbcindonesia.com 27/4).
Menurut informasi yang dihimpun CNBC Indonesia, modifikasi data kartu kredit di Bukopin telah dilakukan lebih dari 5 tahun yang lalu dan jumlah kartu kredit yang dimodifikasi lebih dari 100.000 kartu. Hebatnya, hal ini luput dari pantauan akuntan publik yang mengauditnya yang berkelas internasional, karena berafiliasi dengan Ernst & Young yang termasuk big four kantor akuntan publik di dunia.
Dalam text book akuntansi, melakukan koreksi atas kesalahan di masa lalu sebetulnya hal yang biasa. Bisa karena kesalahan manusia dalam melakukan pencatatan dan perhitungan atau kesalahan sistem. Tapi ini lebih sering terjadi pada perusahaan skala kecil.
Sedangkan untuk perusahaan besar, apalagi berupa bank yang diawasi secara ketat oleh regulator yang di Indonesia disebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), koreksi atas laporan keuangan periode sebelumnya relatif jarang terjadi. Kalaupun ada, lebih banyak karena dampak perubahan kebijakan atau metode akuntansi yang dipakai.