Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hari Buruh dan Semangat Aji Mumpung

1 Mei 2018   08:12 Diperbarui: 1 Mei 2018   09:28 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, taggal 1 Mei, diperingati sebagai Hari Buruh. Sepertinya sudah gampang ditebak, memperingati Hari Buruh identik dengan demonstrasi dari para buruh yang tergabung dalam banyak serikat pekerja. Sangat berbeda dengan peringatan hari-hari besar lain yang banyak diwarnai dengan aneka perlombaan, pameran, seminar, dan acara lain yang bukan berbau unjuk rasa.

Ya memang dilihat dari penderitaannya, amat wajar bila para buruh, yang kebanyakan adalah para pekerja di sektor manufaktur, konstruksi dan perkebunan, melakukan unjuk rasa. Kondisi kesejahteraan mereka yang masih rendah dan aspek keselamatan di lingkungan kerja yang minim, membuat mereka berada dalam tekanan.

Tapi pada hakikatnya, para pekerja kantoran yang berada di lapisan bawah pun, meski punya penampilan lebih oke ketimbang buruh, juga punya nasib yang lebih kurang sama, karena sama-sama mendapat penghasilan di sekitar angka upah minimum regional (UMR). Hanya saja orang kantoran relatif jarang melakukan unjuk rasa.

Bahkan dalam bisnis yang berlabel "syariah" sekalipun, para pekerjanya juga tidak sedikit yang merasa diperlakukan tidak adil. Padahal dalam prinsip syariah, jangan lupa bahwa salah satu elemennya adalah hubungan kesetaraan antara pemilik perusahaan atau pihak manajemen dengan  buruh atau karyawannya.

Tentu maksudnya bukan gaji bos disamakan dengan gaji anak buah. Namun lebih pada kesetaraan sesuai dengan lapisan tanggungjawabnya. Yang bertanggungjawab lebih besar tentu mendapat gaji lebih besar. Namun hal ini harus disepakati kedua belah pihak dalam keadaan tanpa tekanan, dan kesepakatan itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Jadi kalau ada para pekerja di perusahaan yang merasa tidak rela, tidak ikhlas, sering ngedumel atas perlakuan yang diterimanya dari para atasan mereka, ini sudah menjadi indikasi bahwa prinsip syariah belum terlaksana dengan baik.

Di lain pihak, dalam birokrasi di perusahaan besar, para pejabatnya ada saja yang mengelola perusahaan dengan prinsip aji mumpung. Mumpung lagi trend bisnis syariah, maka segera membuka unit usaha syariah, tanpa mengkaji prinsip syariah seutuhnya. Mumpung lagi punya koneksi dengan penguasa, maka gampang saja mereka mendirikan banyak perusahaan, sampai-sampai ada bos yang tidak hafal berap banyak perusahaannya dan di mana saja beroperasinya.

Mumpung lagi banyak pengangguran, maka bos-bos memberi upah yang pas-pasan UMR bagi para pekerjanya, atau kalau bisa dipotong lagi dengan dalih yang seolah-olah masuk akal. Toh kalau para pekerjanya tidak puas, pecat saja, masih banyak yang antri untuk menggantikannya.

Tingkah laku manajer yang sebetulnya adalah para profesional yang dipilih oleh pemilik perusahan,  juga kental aroma aji mumpungnya. Ada yang suka mencari-cari "bahan" agar bisa ke Eropa dengan biaya dinas. Bawa keluarga lagi. Padahal anggarannya sudah tipis, eh malah melakukan switching dengan pos pelatihan buat karyawan. Padahal dengan gaji dan bonus yang demikian besar, apa salahnya jalan-jalan ke Eropa pakai biaya pribadi dengan mengambil hak cuti, dan anggaran pelatihan buat karyawan kalau bisa malah diperbesar.

Kenapa kalau lagi inspeksi ke kantor perwakilan di London, Hongkong, Tokyo, New York, pejabat tingginya langsung ikut memimpin? Tapi kalau on the spot ke tengah kebun sawit di pedalaman Kalimantan atau Papua, cukup kirim staf junior saja. Ini juga karena aji mumpung.

Para pekerja level bawah tentu saja bisa mengendus perilaku bos-bos yang seperti itu. Hal itu juga yang antara lain menimbulkan ketidak ikhlasan para pekerja atas perlakuan yang mereka terima dari para atasannya. Mereka tidak demo, tapi cukup menekan dada, sambil ngomong dalam hati: "sakitnya tuh di sini".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun