Sungguh tadinya saya kurang tertarik menonton film "Jelita Sejuba: Mencintai Ksatria Negara" (selanjutnya disingkat JS), karena judulnya yang menurut saya agak aneh. Setelah saya tahu bahwa Sejuba itu adalah nama sebuah tempat di Pulau Natuna, hal inilah yang memicu semangat saya.
Soalnya bukan apa-apa, saya sudah berkunjung ke semua Provinsi, dan juga sudah menginjakkan kaki di ujung-ujung negeri, Sabang dan Merauke. Tapi jelas begitu sulit kalau untuk mengunjungi semua kabupaten di tanah air kita yang amat luas ini.Â
Nah kebetulan waktu saya ke Provinsi Kepulauan Riau, hanya sempat ke Kota Batam, Kota Tanjungpinang, dan Kabupaten Bintan saja. Natuna, yang terletak di Laut Cina Selatan dan secara geografis lebih dekat ke Vietnam, sampai sekarang masih impian bagi saya untuk mengunjunginya.
Maka "tidak rotan, akarpun jadi". Tidak melihat langsung, dari layar lebar juga bolehlah. Dan saya memang terpesona dengan keindahan alam Natuna yang menawan di film JS tersebut. Tak kalah dengan Belitung dalam film Laskar Pelangi.
Bahkan penonton tidak hanya disuguhi pemandangan yang memanjakan mata, tapi juga bonus lagu-lagu Melayu yang memanjakan telinga. Langgam Melayu terdengar syahdu, ibarat kembali ke masa lalu, di saat atmosfir dangdut yang begitu mendominasi seperti sekarang. Ada pula bonus tarian Melayu dengan gerakan yang rancak di bagian awal film.Â
Memang kalau dari sisi cerita, JS terkesan biasa-biasa saja. Seorang tentara asal Bandung yang lagi bertugas di Natuna, jatuh cinta dengan gadis yang dikenalnya di warung makan Jelita Sejuba. Setelah itu, dengan sedikit lika-liku, mereka pun menikah.Â
Namun saat sang istri melahirkan anak pertama, suami lagi bertugas di Afrika sebagai anggota pasukan penjaga perdamaian PBB di daerah konflik. Tentu saja di samping alam dan budaya Natuna, cukup banyak pula adegan yang berkaitan dengan ketentaraan, termasuk latihan gabungan di Natuna yang lumayan seru.
Sayangnya, di beberapa adegan terasa kurang informatif, seperti meninggalnya aktor utama di akhir cerita tidak jelas terjadi di mana. Penonton hanya mereka-reka mungkin itu terjadi di suatu pelosok di negara kita, dan pembunuh mungkin dari kelompok teroris atau separatis.Â
Maka tak heran bila anggaran promosi film nasional seharusnya cukup besar. Bahkan saat diproduksi pun, beritanya sebaiknya sudah bergema agar masyarakat tidak sabar menunggu jadwal penayangan.
Kompas (11/4) memberitakan bahwa banyak warga Natuna yang terbang dari Natuna ke Batam dengan ongkos pulang pergi Rp 2,5 juta, kecewa saat mendapatkan tak satupun bioskop di Batam yang memutar JS. Di Jakarta pun hanya segelintir bioskop yang menayangkan.
Bagaimanapun, JS yang disutradarai Ray Nayoan dan penulis skenario Jujur Prananto ini, layak untuk dinikmati pencinta film nasional. Apalagi akting dari Putri Marino sebagai aktris utama terbilang bagus. Putri, yang baru saja menikah dengan aktor ternama Chicco Jerikho, mampu berdialek Melayu dengan fasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H