Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Tugu Pancoran yang Makin Terjepit

7 April 2018   14:18 Diperbarui: 7 April 2018   14:21 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Dirgantara atau lebih dikenal dengan Tugu Pancoran (dok. Rudy Sunandar - Instagram@ryu-rudy)

Jakarta di era jadul, saat mal dan gedung pencakar langit belum banyak menyesaki kota, punya kebanggaan tersendiri karena dibangunnya beberapa tugu atau patung yang ikonik. 

Tentu di antara sekian banyak tugu di Jakarta, yang menjadi "mbah"-nya adalah Tugu Monas. Namun tugu lain seperti Tugu Selamat Datang di Bunderan Hotel Indonesia, Tugu Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Tugu Tani di Menteng dan Tugu Pemuda di Senayan, juga tak kalah menarik.

Namun ada satu tugu yang kini nelangsa,yakni  Tugu Pancoran yang terletak di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Nama asli tugu ini sebetulnya adalah Patung Dirgantara, yang lokasinya tak jauh dari gedung yang dulu menjadi Markas Besar Angkatan Udara (sebelum diambil alih oleh grup perusahaan Aldiron).  Patung ini dibuat oleh pematung Edhi Sunarso, di tahun-tahun terakhir era Orde Lama, yakni tahun 1964 sampai 1966.Ide pembuatan Patung Dirgantara berasal dari Presiden Soekarno yang terinspirasi dari kosmonaut asal Rusia, Yuri Gagarin. Namun sosok yang digambarkan oleh patung tersebut menurut tulisan di detik.com (10/4/2017) adalah sosok Gatot Kaca. Sedangkan bentuk tangan patung yang seakan hendak terbang mengandung nilai filosofis agar para pemuda memiliki cita-cita setinggi langit. 

Tugu Pancoran telah menjadi saksi sejarah bagaimana perubahan pesat yang dialami Jakarta dari tahun 60-an sampai sekarang. Sebuah foto tanpa tahun, tapi diperkirakan masih di dekade 60-an, sering beredar di media sosial yang menggambarkan lingkungan sekitar patung yang masih hijau dan tidak macet.

Lalu kawasan tersebut tumbuh menjadi persimpangan yang macet dan membuat banyak anak-anak penjual koran menjajakan korannya kepada pengendara yang terjebak dalam kemacetan, sebagaimana yang ditulis Iwan Fals dalam sebuah lagu ciptaannya yang berjudul "Sore Tugu Pancoran". 

Liriknya antara lain berbunyi: "Si Budi kecil kuyup menggigil / menahan dingin tanpa jas hujan / di simpang jalan Tugu Pancoran / tunggu pembeli jajakan koran..."

Tugu yang terjepit (dok suarajakarta.com)
Tugu yang terjepit (dok suarajakarta.com)
Sekarang sudah era digital, anak-anak penjual koran di simpang jalan sudah semakin jarang ditemukan. Namun "serangan" terhadap Tugu Pancoran semakin membuat posisinya terkepung.

Lihatlah, setelah flyover dari arah Cawang ke Semanggi difungsikan sejak awal tahun ini, tugu ini semakin terjepit saja. Sebelumnya ruas jalan tol dalam kota serta flyover dari Semanggi menuju Cawang telah menjepit, sehingga praktis tidak bisa dipandang secara utuh, seperti fotonya di era jadul.

Tugu Pancoran di era jadul (tribunnews.com)
Tugu Pancoran di era jadul (tribunnews.com)
Semoga patung yang punya makna filosofis yang amat bagus tersebut tidak menyerah pada "pembangunan". Perlu dicamkan, pembangunan janganlah diartikan secara sempit hanya sebatas pembangunan yang bernilai ekonomis seperti gedung dan jalan raya . 

Membangun tugu, taman, museum, dan hal lainnya yang lebih berdampak positif pada aspek sosial budaya, juga perlu mendapat perhatian yang seimbang.

Misalnya ada pemikiran untuk menghancurkan tugu tersebut, jelas merupakan sebuah kekalahan sejarah yang tak termaafkan. Memindahkan ke lokasi lain, tentu harus dikaji dulu aspek teknisnya secara matang. 

Kita tunggu apakah Pemda DKI Jakarta akan membiarkan Tugu Pancoran "merana seorang diri" atau punya rancangan jitu untuk memperbaiki penampilannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun