Di penghujung tahun 2017 yang lalu, sektor pariwisata di Bali sempat terpukul karena musibah meletusnya Gunung Agung. Meskipun sekarang sudah relatif aman, namun karena travel warning oleh beberapa negara belum dicabut, kedatangan turis asing di Bali belum seramai sebelum terjadi bencana.Â
Untunglah turis domestik dari berbagai penjuru nusantara lumayan membantu para pelaku bisnis yang berkaitan dengan pariwisata di Bali, seperti hotel dan restoran, pengelola obyek wisata, pemandu wisata, transportasi, dan sebagainya.Â
Demikian pula wisatawan asing dari luar Australia dan Jepang (yang sebelumnya mendominasi), seperti Cina, India, Malaysia dan negara-negara Timur Tengah, juga mulai terlihat seiring dengan terbukanya rute penerbangan langsung ke negara-negara tersebut.
Bagi saya, perjalanan kali ini sudah kesekian kalinya ke Pulau Dewata tersebut. Meskipun demikian, tak pernah rasanya saya dihinggapi kebosanan. Bahkan boleh dikatakan Bali selalu mengangenkan.Â
Namun bagi kedua kakak saya, keduanya perempuan dan pensiunan guru di Sumbar dan Riau, adalah pengalaman pertama. Bayangan sang kakak bakal kesulitan mencari tempat shalat dan mencari makanan halal di Bali, ternyata tidak beralasan. Di semua obyek wisata utama, gampang mencari rumah makan halal yang sekaligus menyediakan ruang untuk shalat.Â
Jadi, meskipun masyarakat Bali mayoritas pemeluk agama Hindu, namun dalam kesehariannya sangat menghargai pemeluk agama lain. Makanya, tanpa gembar-gembor, sebetulnya pariwisata syariah atau pariwisata halal bukan hal yang asing di Bali dengan sasaran turis Malaysia, Timur Tengah, di samping tentu saja wisatawan dalam negeri.Â
Yang menarik bagi saya, meskipun sudah relatif sering ke Bali, selalu ada saja obyek wisata baru atau pengembangan dari obyek wisata yang telah ada. Ini salah hatu hal yang membuat banyak orang tidak bosan bertandang ke Bali. Bule-bule yang mulai jenuh dengan pantai tertentu yang mulai banyak didatangi turis lokal, akan mencari lokasi lain yang dianggap lebih eksotis.Â
Maka pantai yang relatif baru dieksplorasi pun bermunculan, seperti Pantai Padang-Padang, Pantai Pandawa, Pantai Jerman, di bagian selatan Pulau Bali, atau Pantai Amed di kawasan timur. Namun demikian harus diakui, ada ketimpangan dalam peta pariwisata Bali, dengan menumpuknya obyek wisata di tiga kabupaten: Badung, Gianyar, dan Tabanan, yang  terletak di bagian selatan. Seandainya pembangunan bandara di Singaraja telah tuntas, tentu kawasan utara Bali juga akan menggeliat karena menyimpan potensi yang besar.
Cukup menarik pula membahas posisi Denpasar sebagai ibukota provinsi,  yang ironisnya malah tidak begitu diminati wisatawan selain Pantai Sanur. Untung sekarang ada Monumen Perjuangan Rakyat Bali atau disebut juga Bajra Sandhi yang  bangunannya berarsitektur khas Bali di kawasan Renon, dekat kantor Gubernur. Di komplek monumen ini terdapat pula wahana museum 3 dimensi, dan mulai ramai dikunjungi publik.
Day 1: Jam 10.05 waktu Indonesia bagian tengah (WITA) mendarat di Bandara Ngurah Rai. Makan siang di sebuah rumah makan Minang di Jalan Tuban, Kuta, lalu mengarah ke Nusa Dua melewati jalan tol. Setelah ke luar tol langsung  ke kawasan wisata Water Blow, tempat melihat gulungan ombak yang memecah batu karang. Di taman yang indah sebelum masuk kawasan pantai, terdapat patung dan prasasti penanaman pohon oleh delegasi WTO, 1993.
Agenda berikutnya adalah ke kawasan Pantai Pandawa dan Pantai Blue Point, keduanya pantai yang eksklusif dengan tebing yang indah di pinggirnya. Blue Point juga terkenal sebagi tempat favorit acara pernikahan para selebriti, baik artis nasional maupun internasional. Â
Sorenya kami masih sempat ke kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) yang menarik bayaran Rp 70.000 per orang. Â Harga ini sudah termasuk fasilitas shuttle bus ke proyek patung garuda raksasa yang tengah dikebut penyelesaiannya, dan juga termasuk menonton tari kecak di amphitheater GWK.
Day 2: Perjalanan dimulai jam 09.00 WITA. Obyek wisata yang dikunjungi adalah daerah pegunungan, yakni Ubud, Kintamani, dan Tampaksiring. Di Ubud kami singgah di Museum The Blanco Renaissance yang memajang lukisan karya maestro Antonio Blanco (tarif Rp 30.000 per orang), dan setelah itu menikmati sawah terasering Tegalalang (retribusi Rp 10.000 per orang).Â
Berikutnya suasana makan siang di Kintamani di sebuah restoran dengan pemandangan Danau Batur terasa nikmat. Lalu kami turun ke pinggir danau dan berfoto-foto di restoran terapung (meski tidak memesan makanan tapi dibolehkan masuk).Â
Kemudian kami bergerak ke Tampaksiring menikmati pemandangan di kawasan pemandian Tirta Empul (tiket Rp 15.000) dan juga Istana Presiden. Sorenya sebelum ke hotel kami menghabiskan waktu di Pantai Sanur.
O ya malamnya kami sempat ke Discovery Shopping Mall, pusat perbelanjaan terkenal di Kuta. Di halaman mal ada pertunjukan berkaitan dengan program earth hour, yakni mematikan listrik dari jam 20.30 sampai 21.30.
Sayangnya kondisi pura di Tanah Lot makin terkikis abrasi, sehingga pengunjung tidak boleh mendekat ke pura yang menjadi salah satu ikon pariwisata Bali. Pulangnya, karena macet, kami memasuki hotel di Kuta saat malam hari. Tapi ada bagusnya juga, karena sekalian menikmati semarak dunia malam di Legian dan Kuta dengan live musicyang terdengar dari beberapa pub. Kami juga melewati tugu peringatan bom Bali.
Sorenya adalah saat berburu oleh-oleh. Sekarang sudah ada pusat oleh-oleh serba ada yang berukuran besar dengan sistem swalayan di Kuta. Hal ini tentu memudahkan wisatawan, tapi juga membuat pedagang oleh-oleh di kios kecil yang tersebar di banyak obyek wisata, berkurang omzetnyaÂ
Sebelum ke bandara, melihat cuaca yang cerah kami sempatkan menikmati Pantai Jerman (terusan Pantai Kuta). Meski kami tidak sampai melihat matahari tenggelam di laut, tapi pemandangan menjelang tenggelam tersebut terlihat syahdu.
Begitulah travel story kami di Bali, pulau yang selalu mengangenkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H