Secara formal saya sudah berstatus pensiunan. Tapi alhamdulillah masih ada sedikit pekerjaan di tempat baru, yang bergerak di bidang yang sama dengan yang saya geluti di tempat lama.
Di tempat baru ini saya hanya masuk di hari-hari tertentu saja. Ada beberapa orang rekan kerja yang "senasib" dengan saya, karena juga telah pensiun dengan rentang usia berkisar 55 sampai 60 tahun.
Nah, suatu siang, seorang teman kerja bercerita bahwa ia tadi pagi sebelum ke kantor, terlibat perang mulut dengan suaminya, gara-gara salah komunikasi. Kebetulan di rumahnya ada bagian yang lagi diperbaiki. Teman saya yang telah menjadi kakek-nenek itu rupanya lupa kalau material yang mau dipakai tukang sudah habis, dan masing-masing saling menyalahkan pasangannya karena tidak teliti, sehingga tukang nganggur untuk beberapa jam.
Lalu kisah itu segera disambar oleh teman lain yang pada intinya juga mengungkapkan kekesalannya dengan suami atau istrinya masing-masing yang nota bene telah menjadi pendamping hidup selama lebih dari seperemat abad.
Sumber pertengkaran rata-rata hanya hal kecil seperti lupa menarok kunci atau barang, lupa mematikan perangkat elektronik, kran air, tombol listrik, dan sebagainya. Tapi sakitnya tuh di sini, kata seorang teman lain, sambil memegang dadanya.Â
Tiba-tiba ada lagi seorang rekan yang juga baru menjadi kakek, mengungkapkan trik yang dipakainya bersama istrinya di rumah. Triknya adalah sepakat untuk saling diam saja. Kalau kunci hilang, gak usah ribut dan cari saja sendiri.Â
Dengan saling diam, atau hanya berbicara seperlunya saja, menurut pengakuan teman tersebut, ia terbebas dari rasa sakit hati akibat omongan pasangannya yang menusuk hati.
Hebatnya lagi, trik saling diam tersebut ternyata dianggap cara yang jitu oleh teman lain. Saya yang tidak ikut berkomentar dianggap setuju oleh mereka. Tapi sebetulnya saya sendiri ragu, karena tetap merasa perlu saling berbicara. Namun tentu dengan cara yang sopan, kalau bisa seperti cara anak muda yang lagi berpacaran.
Saya jadi teringat anekdot yang sering saya baca di media sosial. Kisahnya ada seorang kakek yang amat rajin memanggil sang nenek dengan kata sayang, darling, honey, dan sejenisnya. Ketika ada yang bertanya kenapa si kakek demikian mesra, ternyata si kakek bilang karena ia sudah lupa nama istrinya.
Jadi, kemesraan sampai menjadi kakek nenek, jelas amat diperlukan. Tapi sekaligus juga diakui, sebagaimana pengalaman teman-teman saya (dan juga pengalaman saya sendiri, tapi tolong jangan bilang siapa-siapa), bahwa kemesraan terhadap pasangan yang selalu bertemu setiap hari dan telah mengenal "luar dalam", alangkah sulitnya. Berbeda jauh dengan degup jantung yang kencang saat masih berstatus pacaran puluhan tahun yang lalu.
Boleh-boleh saja pejabat atau public figureyang sudah berusia kepala lima atau enam unjuk kemesraan bersama pasangannya di depan publik atau saat diliput pers. Tapi mohon maaf, saya tetap sangsi, di rumah mereka sangat mungkin tidaklah sehangat itu.
Bahkan saya amat yakin, kalau Dilan dan Milea yang telah menghipnotis jutaan penonton  bioskop dengan puisi cintanya, ketika nanti jadi kakek nenek juga akan terdegradasi romantismenya.
Banyak teori yang telah saya baca tentang cara mempertahankan kemesraan, dan tidak ada yang menganjurkan saling diam. Tapi sekali lagi, tidak gampang mempraktikkannya. Perlu upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten dari para kakek dan disambut dengan nada yang sama oleh  para nenek dan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H