Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Liga Dangdut Indonesia Layak Dapat Kartu Kuning

5 Maret 2018   08:22 Diperbarui: 5 Maret 2018   08:25 1443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari daerah di acara liga dangdut (dok youtube)

Sebuah acara kontes penyanyi dangdut yang diikuti wakil dari semua provinsi, dan ditayangkan secara  liveoleh salah satu stasiun televisi, telah menjadi hiburan bagi para penggemar dangdut setiap malam. 

Bayangkan, di acara yang dinamakan Liga Dangdut Indonesia (LDI) ini, selama 34 malam pertama (satu malam setiap provinsi) masih dalam tahap nominasi, yakni mencari yang paling populer dari 5 penyanyi yang lolos audisi tingkat provinsi. Pemenangnya adalah yang terbanyak mendapat SMS yang sekaligus menjadi wakil setiap provinsi pada tahap berikutnya.

Saat tulisan ini disusun, semua provinsi telah selesai unjuk kebolehan setelah penampilan wakil-wakil dari Papua, Minggu (4/3) malam. Belum begitu jelas seperti apa format acara di babak selanjutnya.

Cukup adil rasanya bila masing-masing provinsi punya satu wakil. Jadi tak ada provinsi unggulan yang mendapatkan keistimewaan dengan jatah peserta yang banyak. Dalam blantika musik tanah air, para penyanyi dangdut profesional mayoritas memang berasal dari Pulau Jawa. Tapi itu lebih karena akses mereka ke produser musik yang lebih gampang saja. 

Pantai utara (Pantura) Jawa, sangat terkenal dengan atmosfir dangdut yang luar biasa. Namun hal yang sama juga cepat menyebar ke seantero negeri.

Ternyata orang dari pelosok bila diberi kesempatan, mampu bersaing dengan pedangdut Jawa. Buktinya, di beberapa kali ajang serupa sebelumnya, saat masih bernama DA (Dangdut Akademi), juaranya pernah yang  berasal dari kota kecil di Kalimantan dan juga dari kota kecil di Sulawesi.

LDI menuai banyak pujian dari pejabat daerah, bahkan juga dari beberapa anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang sempat menyaksikan acara tersebut di studio. Yang jelas moto LDI sebagai "seni yang menyatukan bangsa" teraktualisasikan dalam acara tersebut.

Faktor plus dari LDI adalah diberikannya wadah bagi provinsi yang selama ini jarang terdengar namanya di telinga orang Jakarta, umumnya provinsi baru hasil pemekaran di kawasan timur, seperti Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo,  Maluku Utara, dan Papua Barat

Hebatnya, setiap daerah lumayan kreatif menyisipkan materi budaya setempat pada tayangan LDI. Mulai dari pakaian, tarian, makanan dan juga souvenir. Acara budaya tradisional bisa dikemas secara ngepop, sehingga tidak membosankan penonton berusia muda. 

Tak heran acara yang berdurasi 5 sampai 6 jam ini, banyak sekali sponsornya. Setiap jeda iklan bisa berlangsung selama 10 menit. Belum lagi iklan terselubung yang diselipkan saat para pembawa acara, juga komentator yang terdiri dari beberapa penyanyi senior, saling bertukar kalimat lucu.

Nah, masalahnya adalah,  komentator (di LDI disebut sebagai anggota Dewan Dangdut) itu tadi, beberapa kali kepleset dalam mengomentari penampilan atau kualitas bernyanyi seorang peserta. Padahal ini adalah siaran langsung yang tidak bisa diedit.

Seorang komentator pria sering overacting   kalau maju ke panggung dan berdekatan dengan peserta wanita yang dinilainya. Bila peserta wanita ini berwajah cakep, tingkah  "nakal" sang komentator pria ini semakin menjadi-jadi, termasuk dengan vulgar meminta si wanita agar mau jadi pacarnya.

Beberapa komentator wanita juga tidak kalah genitnya dalam berinteraksi dengan peserta pria yang tergolong ganteng. Ada yang sampai gregetan memegang dagu si peserta, sehingga terkesan seperti pem-bully-an atau pelecehan. Bahkan dilanjutkan dengan kalimat vulgar yang kurang lebih seperti ini: "aku ingin mendapat anak dari kamu".

Melihat hal di atas, sudah saatnya KPI bertindak tegas dengan memberi "kartu kuning" terhadap beberapa komentator bila itu memang di luar skenario, atau kepada konseptor acara bila itu memang diskenariokan.

Satu lagi, bila peserta berasal dari kalangan berpenghasilan rendah atau penyandang disabilitas (wakil dari Sumbar dan Bali adalah tuna netra), bagus-bagus saja menambahkan materi yang menguras air mata pemirsa, seperti menghadirkan orang tua peserta di panggung, atau memutarkan rekaman video keseharian peserta.

Namun adegan yang menggugah simpati di atas harus pas porsinya, jangan sampai berlebihan sehingga seperti mengeksploitasi seseorang. Perlu diingat, LDI adalah kontes menyanyi, jangan terjebak dengan meniru reality show yang "menjual" kemiskinan.

Bagaimanapun LDI adalah bukti kehebatan tim kreatifnya, dengan ide yang orisinil, bukan mengadopsi acara serupa di luar negeri. Jadi, dengan sejumlah catatan di atas agar tidak terpleset, LDI layak dilanjutkan. 

Dangdut sudah berhasil naik kelas. Sekarang penggiat dangdut tidak lagi minder satu panggung dengan penggiat genre musik lainnya. Sungguh sayang bila dangdut tercemar oleh tingkah polah beberapa penyanyi yang overacting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun