Seorang komentator pria sering overacting  kalau maju ke panggung dan berdekatan dengan peserta wanita yang dinilainya. Bila peserta wanita ini berwajah cakep, tingkah  "nakal" sang komentator pria ini semakin menjadi-jadi, termasuk dengan vulgar meminta si wanita agar mau jadi pacarnya.
Beberapa komentator wanita juga tidak kalah genitnya dalam berinteraksi dengan peserta pria yang tergolong ganteng. Ada yang sampai gregetan memegang dagu si peserta, sehingga terkesan seperti pem-bully-an atau pelecehan. Bahkan dilanjutkan dengan kalimat vulgar yang kurang lebih seperti ini: "aku ingin mendapat anak dari kamu".
Melihat hal di atas, sudah saatnya KPI bertindak tegas dengan memberi "kartu kuning" terhadap beberapa komentator bila itu memang di luar skenario, atau kepada konseptor acara bila itu memang diskenariokan.
Satu lagi, bila peserta berasal dari kalangan berpenghasilan rendah atau penyandang disabilitas (wakil dari Sumbar dan Bali adalah tuna netra), bagus-bagus saja menambahkan materi yang menguras air mata pemirsa, seperti menghadirkan orang tua peserta di panggung, atau memutarkan rekaman video keseharian peserta.
Namun adegan yang menggugah simpati di atas harus pas porsinya, jangan sampai berlebihan sehingga seperti mengeksploitasi seseorang. Perlu diingat, LDI adalah kontes menyanyi, jangan terjebak dengan meniru reality show yang "menjual" kemiskinan.
Bagaimanapun LDI adalah bukti kehebatan tim kreatifnya, dengan ide yang orisinil, bukan mengadopsi acara serupa di luar negeri. Jadi, dengan sejumlah catatan di atas agar tidak terpleset, LDI layak dilanjutkan.Â
Dangdut sudah berhasil naik kelas. Sekarang penggiat dangdut tidak lagi minder satu panggung dengan penggiat genre musik lainnya. Sungguh sayang bila dangdut tercemar oleh tingkah polah beberapa penyanyi yang overacting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H