Seorang staf di kantor tempat dahulu saya bekerja melangsungkan pernikahan hari Minggu (25/2) yang lalu di Rembang, Jawa Tengah. Saya berkesempatan hadir memenuhi undangannya dengan berangkat naik kereta api Sabtu (24/2) malam dari Stasiun Gambir ke Stasiun Cepu. Lalu dari Cepu naik mobil ke Rembang selama sekitar 90 menit.Â
Sebelumnya sempat ada kekhawatiran bahwa kereta api yang telah saya beli tiketnya, tidak dapat melayani penumpang karena tidak bisa melewati daerah Brebes yang baru saja ditimpa longsor, sehingga rel kereta api terendam. Untunglah, sejak Sabtu sore kereta api telah beroperasi secara normal, walaupun saat melewati Brebes harus dengan kecepatan yang amat rendah.
Tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang Cepu, karena saya sampai di Stasiun Cepu saat masih subuh. Kota ini terkenal sebagai kota minyak, karena ada ladang minyak yang dikelola Pertamina di sini. Sedangkan Rembang merupakan kota yang relatif nyaman. Jalan protokol di kota ini terlihat lebar, sehingga lalu lalang kendaraan besar seperti truk dan bus amat lancar, seperti yang saya lihat di depan Kantor Bupati Rembang.
Yang menjadi obyek tulisan saya kali ini adalah rute perjalanan saya setelah menghadiri acara pernikahan di atas, yakni lewat darat dari Rembang ke Semarang, untuk selanjutnya naik pesawat ke Jakarta di sore harinya. Nah di perjalanan tersebut saya sempat singgah di Kota Pati, karena seorang anggota rombongan adalah warga Pati yang bekerja di Jakarta.
Sepanjang perjalanan dari Rembang ke Pati, di pinggir jalan terdapat tambak garam yang luas. Ternyata tambak garam tidak hanya ada di Madura. Di beberapa tempat, karena air meluap (sebelumnya beberapa kota di pesisir utara Jawa Tengah memang dilanda banjir), tambak garam kelihatan sudah seperti danau. Mendekati Kota Pati, pemandangan berganti dengan kebun tebu di sepanjang pinggir jalan.
Meskipun produk yang dijual gampang ditemui di mini market di semua kota, tapi membeli di area pabriknya mungkin mendatangkan kepuasan tersendiri.
Bahkan ada semacam gudang tempat menyimpan peralatan produksi yang sudah tidak terpakai, difungsikan sebagai museum yang bebas dilihat oleh pengunjung. Ada pula rumah makan dengan bangunan berkonsep tradisional Jawa di sisi kanannya, berdekatan dengan gerai tempat menjual aneka makanan produksi DK.
Sekarang sebetulnya pabrik kacang G dan DK juga sudah mendiversifikasi produknya dengan membuat aneka snack berupa biskuit dan makanan lainnya. Pabriknya pun sudah bertambah dengan membangun di kota lain. Tapi tetap saja, julukan Pati sebagai Kota Kacang seperti sudah menjadi trademark.