Lupakan sejenak prediksi tentang karyawan bank yang bakal banyak dirumahkan karena digempur oleh perusahaan rintisan yang menggunakan aplikasi finansial. Perusahaan rintisan ini bisa beroperasi seperti bank, tanpa perlu pertemuan secara langsung dengan nasabah atau calon nasabah.
Lupakan sejenak tentang keluhan banyaknya pegawai bank yang ternyata berstatus pegawai kontrak (outsourcing)  yang setiap tahun kawatir kalau kontraknya tidak diperpanjang. Padahal gajinya banyak yang pas-pasan upah minimum regional (UMR). Konon hal ini karena pekerja kontrak tidak terwadahi pada serikat pekerja  bank.
Yang jelas, paling tidak sampai saat ini, dari sisi karyawan bank yang berstatus pegawai tetap, kondisinya masih baik-baik saja. Bahkan ada kecenderungan di semua bank besar di negara kita, dalam arti total asetnya di atas Rp 100 trilyun (sekitar 10 buah bank), organisasinya semakin gemuk.Â
Organisasi yang gemuk tersebut, indikasinya dilihat dari  penambahan karyawan dan sekaligus penambahan jabatan. Jangan heran bila ada bank yang di kantor pusatnya terdiri dari 57 divisi. Kalau masing-masing divisi punya sekitar 40 karyawan, hitung sendiri jumlah personil kantor pusat tersebut. Belum lagi yang berada di ratusan kantor cabang dan kantor cabang pembantu.
Sebuah divisi dikepalai oleh seorang kepala divisi, tapi dalam istilah yang lebih sering dipakai saat ini adalah Executive Vice President(EVP). EVP dibantu oleh 1 atau 2 orang wakil kepala divisi yang juga disebut dengan Vice President(VP). Di bawahnya lagi adalah bagian-bagian yang ada di divisi tersebut. Seorang kepala bagian (disebut juga manajer) punya beberapa orang staf yang berstatus pekerja tetap dan beberapa pekerja kontrak untuk tugas administrasi. Makanya jumlah rata-rata 40 orang untuk setiap divisi merupakan asumsi yang wajar.
Nah, sejak beberapa tahun terakhir ini, bank-bank besar menambah lagi lapisan jabatan  yang punya nama amat mentereng, yakni senior executive vice president (SEVP). Jabatan ini boleh dikatakan sebagai direktur non RUPS, karena levelnya adalah direktur namun tidak diangkat melalui forum rapat umum pemegang saham (RUPS).
Kalau seorang direktur membawahi 3 sampai 4 divisi, tentu tidak cukup buat mengelola 50-an divisi. Itulah yang mendasari kreativitas terciptanya jabatan SEVP tersebut, yang setingkat dengan direktur. Seorang SEVP "memegang" 2 sampai 3 divisi. Dengan demikian bank yang gemuk bisa punya 11 direktur plus 5 SEVP.Â
Kalau direktur asli adalah orang-orang yang dipilih oleh pemegang saham mayoritas, maka SEVP adalah orang pilihan direktur utama. Secara umum fasilitas dan asesoris yang melekat pada seorang direktur juga berlaku buat SEVP. Kalau soal gaji, memang tidak sama, tapi mendekati gaji direktur.
Perbedaan lain adalah tentang bonus. Anggota direksi mendapat bonus tahunan yang disebut tantiem yang merupakan persentase tertentu dari laba, serta diberikan berdasarkan putusan RUPS. Sedangkan SEVP ikut mekanisme bonus yang diatur direksi untuk semua karyawan, yang lazimnya sekian kali dari take home paybulanan.
Pertanyaannya, kenapa bank-bank cenderung semakin gemuk? Antara lain karena bank-bank besar ingin melayani semua segmen pasar. Lalu bank harus pula mengikuti perkembangan teknologi tanpa meninggalkan pola konvensional.
Sebagai contoh, kalau dulu untuk menangani teknologi informasi (TI) cukup satu divisi, sekarang dipecah jadi 3 divisi. Ada yang khusus membuat perencanaan TI, yang khusus membuat program atau aplikasi, dan yang memastikan operasional TI bisa berjalan lancar.Â
Seiring makin besarnya porsi transaksi bank secara digital, juga membentuk pemakaran divisi. Ada divisi yang khusus menangani sisi jaringan elektronik, ada pula yang khusus menangani sisi bisnisnya.
Dengan demikian terbentuklah kotak baru yang harus diisi dengan penambahan pejabat beserta stafnya. Personil baru tersebut bisa direlokasi dari divisi induk sebelum pemekaran, tapi yang lebih sering terjadi adalah dengan merekrut orang baru.Â
Saat dikaji oleh sebuah tim khusus, rencana pemekaran divisi dan penambahan karyawan terlihat logis. Nyatanya, kalau melongok ke kantor pusat beberapa bank, terutama bank milik negara, tak sedikit staf yang nganggur atau lebih bayak main gadget saja.
Itulah gambaran kontradiksi pada perbankan nasional saat ini. Ketika perusahaan rintisan berbasis aplikasi semakin dalam menggempur bank, diperkirakan bank akan merespon dengan beroperasi secara lebih efisien. Eh, ternyata bank semakin menggemukkan badannya, antara lain dengan munculnya SEVP dan pemekaran divisi.
Mari kita tunggu seperti apa perkembangan selanjutnya. Jika perusahaan rintisan yang beroperasi layaknya bank di dunia maya, Â semakin berkembang secara independen, maka pada saatnya gelombang PHK masal di sektor perbankan tidak terhindarkan.
Namun, bila melalui pemekaran organisasi, manajemen bank mampu membuat aplikasi yang menyaingi perusahaan rintisan, atau berkolaborasi dengan perusahaan rintisan yang potensial, maka bank sudah on the right track.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H