Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Iklan Keroyokan di Seragam Klub Sepak Bola Indonesia

6 Februari 2018   22:56 Diperbarui: 7 Februari 2018   08:59 5954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Bolasport.com

Kalau anda suka menonton pertandingan sepak bola di tanah air, tentu mengetahui bahwa di antara sejumlah klub yang bertarung di Liga 1, ada yang jersey-nya bertaburan sponsor, dan ada pula yang polos saja, selain logo klubnya. Bagi klub yang tampil dengan jersey penuh iklan, tak salah kalau ada yang ngeledek, ini pemain bola atau pebalap mobil?

Memang, klub yang mempunyai basis pendukung yang banyak, tentu gampang mencari sponsor. Maka Persib Bandung dan Arema Malang  yang didukung oleh puluhan ribu (kalau bukan ratusan ribu) supporter Viking dan Aremania, adalah contoh klub yang berhasil menarik banyak sponsor, masing-masing lebih dari lima perusahaan. 

Klub yang belum lama berkiprah, Bali United juga diminati beberapa sponsor yang ditandai dengan iklan keroyokan di jersey-nya. Memang, Bali United lumayan sukses dalam menghimpun pendukung setianya bahkan tidak sedikit turis bule yang menonton langsung bila Bali United bermain di kandangnya di Gianyar, Bali.

Basis pendukung yang banyak dan fanatik jelas menjadi faktor penting yang diperhitungkan oleh sponsor, karena mereka dengan sukarela, bahkan dengan bangga akan membeli jersey resmi klub kebanggaannya, yang tentu dipenuhi iklan sponsor itu tadi. Tapi jersey yang laku biasanya yang bernomor punggung dan bertuliskan nama pemain favorit. Pemain favorit jelas merupakan pemain yang berkualitas alias pemain bintang yang mampu mengangkat performa klub.

Nah, di sinilah saling berkaitannya antara prestasi klub dengan jumlah supporter serta sekaligus dengan jumlah dana yang digelontorkan sponsor. Artinya, bila klub yang sekarang bertaburan iklan, tidak tertutup kemungkinan akan mulai ditinggalkan sponsor bila prestasinya anjlok. Seperti diketahui, di Liga 1 tahun 2017 yang lalu, Persib dan Arema terlempar dari papan atas. 

Demikian pula di ajang Piala Presiden yang tengah berlangsung, Persib sudah tumbang di babak penyisihan dan Arema gagal menembus semifinal. Tinggal Bali United saja klub bertabur sponsor yang masih melaju ke semifinal. Adapun semifinalis lainnya Persija dan Sriwijaya sponsornya terbatas pada bank milik pemda setempat, serta PSMS Medan yang hanya main dengan jersey berlogo sponsor apparel-nya saja. 

Sponsor apparel adalah perusahaan yang memasok pakaian dan peralatan olahraga  bagi klub tersebut. Nike, Puma,Reebok,  Adidas, adalah beberapa contoh sponsor apparel  ternama dari luar negeri yang sebagian juga masuk ke beberapa klub yang bertarung di  Liga 1 Indonesia. Namun kebanyakan klub Indonesia menggunakan apparel lokal.

Kembali ke jersey yang bertabur iklan, di samping berkonotasi positif sebagai klub yang laku dijual, sebetulnya secara estetika terlihat kurang menarik. Pakar periklanan tentu lebih tahu tentang design iklan yang eye catching dan  jelas bukan iklan keroyokan seperti iklan di koran bertuliskan selamat atas pembukaan perusahaan baru dari para relasinya.

Penonton, baik yang hadir langsung di stadion maupun yang menonton dari layar kaca,  sangat mungkin juga bingung dan tidak fokus mengamati logo-logo perusahaan yang seperti tumpang tindih di kostum pemain. Akibatnya, sasaran agar suatu merek nancep dibenak publik akan sulit terbentuk.

Dalam hal ini, aturan di luar negeri yang membatasi tulisan dan logo sponsor rasanya perlu diterapkan di Indonesia. Bali United sudah terkena imbasnya ketika beberapa minggu yang lalu bertarung di ajang antar klub Asia melawan sebuah klub Thailand harus tampil dengan jersey yang hanya dibolehkan memampangkan satu sponsor utama.

Sama halnya kalau kita memperhatikan klub-klub di Eropa, hanya ada satu logo atau tulisan sponsor utama di dada pemain. Lalu di atasnya ada dua logo kecil, yakni logo klub dan logo apparel. Kemudian di lengan ada lagi logo organisasi yang menaungi liga setempat.

Tentu saja nilai kontrak untuk menjadi sponsor utama amat besar. Sedangkan perusahaan lain boleh pula menjadi sponsor pendamping, tapi logonya tidak muncul di jersey pemain saat pertandingan resmi berlangsung. 

Garuda Indonesia yang punya jalur penerbangan Jakarta-London, pernah mencoba jadi sponsor pendamping sebuah klub di Inggris, dan logo Garuda dipasang di kostum latihannya. Latihan klub-klub besar biasanya juga ramai didatangi penggemarnya. 

Boleh jadi Garuda terinspirasi karena melihat betapa maskapai penerbangan yang berbasis di Uni Emirat Arab demikian kuat branding-nya dengan menjadi sponsor utama. Namun Garuda dengan keterbatasan finansial hanya mampu bertahan selama satu musim kompetisi.

Mungkinkah jersey klub di Liga 1 kita bisa terlihat elegan seperti di liga-liga Eropa? Kuncinya terletak pada tata kelola liga itu sendiri. Bila semuanya berlangsung mulus, tertib, jauh dari kericuhan dan skandal, maka penonton akan membludak di setiap laga. Rating televisi yang mendapat hak siar pertandingan pun juga naik. 

Maka kalau kondisi itu terwujud, sponsor tidak akan keberatan mengucurkan dana yang jauh lebih besar ketimbang yang sekarang dianggarkannya. Dengan demikian logonya tampil gagah di dada pemain tanpa didampingi oleh banyak logo perusahaan lain, karena kebutuhan klub telah tertutupi, termasuk dari penjualan merchandise, penjualan tiket pertandingan, dan pembagian hak siar televisi.

Sementara kondisi ideal tersebut tengah dibangun, kita nikmati saja iklan keroyokan di beberapa klub Liga 1. Bahkan hal ini pantas disyukuri, karena menjadi pertanda awal yang baik, bahwa banyak sponsor berani mencoba meramaikan persepakbolaan kita. 

Bila pihak sponsor merasa puas di masa "coba-coba" tersebut, dengan indikator meningkatnya citra perusahaan di mata publik serta semakin bertambah konsumen atau pelanggannya, maka kolaborasi dunia usaha dengan klub bola kita akan memasuki era keemasannya.

Semua stakeholder di Liga Indonesia telah sepakat untuk tidak menggunakan anggaran negara atau daerah buat klub bola. Tak ada jalan lain, kemampuan manajemen klub dalam memikat sponsor dan secara paralel disertai dengan terwujudnya atmosfir kompetisi Liga 1 yang fair, menjadi harga mati bagi kemajuan sepak bola Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun