Nama jalannya Jalan Surabaya, tapi terletak di Jakarta Pusat. Nah di sepanjang salah satu sisi jalan ini, yang terkenal sebagai pasar barang antik di ibukota, berjejer sekitar 200 kios yang buka sepanjang siang sampai sore hari.
Sebagian besar kios tersebut menyediakan berbagai barang antik atau barang yang relatif baru tapi sengaja dibuat dengan model antik. Tapi ada pula beberapa kios yang menual tas dan koper serta kios piringan hitam dan kaset lagu-lagu jadul.
Peminatnya tidak hanya warga lokal, tapi juga turis dari mancanegara. Makanya jangan heran kalau ada sekelompok bule yang memakai kaos dan bercelana pendek lagi mengunjungi kawasan ini.
Lalu di tahun 1970-an, di era Gubernur Ali Sadikin, pedagang kaki lima tersebut ditertibkan secara besar-besaran. Maka di Jalan Surabaya, para pedagang loak aneka barang antik itu menempati kios-kios permanen yang sengaja dibangun Pemda DKI Jakarta, seperti yang terlihat sampai sekarang ini.Â
Tentu saja pamor pasar barang antik Jalan Surabaya langsung terangkat. Kesan yang sebelumnya kumuh telah berubah rapi dan nyaman. Hanya berdasarkan promosi dari mulut ke mulut, akhirnya pasar ini terkenal dan menjadi salah satu obyek wisata yang digandrungi turis asing, karena ada nuansa galeri seni atau museum.
Terangkatnya pamor pasar barang antik ini antara lain juga karena banyaknya jenis barang yang dijual, sehingga calon pembeli leluasa untuk menentukan pilihan. Harganya pun tergolong wajar dan dapat ditawar. Padahal kalau membeli barang yang sama atau yang mirip di galeri khusus, harganya bisa jauh lebih mahal.
Apa saja barang-barangnya? Sekadar contoh untuk dituliskan di sini adalah barang berbahan porselen, keramik, kayu dan logam. Ada pula wayang kulit, keris dan senjata tradisional lain, topeng tradisional, peralatan makan dari kuningan, rantang jadul, telepon antik, kamera antik, gong antik, setrikaan antik, lampu antik, dan masih banyak lagi. Bahkan ada juga setir kapal, teleskop dan kompas.Â
Masa kejayaan pasar tersebut menurut beberapa pedagang yang telah beroperasi di sana sejak puluhan tahun lalu, terjadi di tahun 1990-an sampai 2010. Saat itu lumayan ramai pembeli dari berbagai daerah. Para pejabat dan turis asing juga banyak yang berbelanja baik untuk dikoleksi sendiri maupun untuk dihadiahkan bagi relasinya.
Kalau hari-hari ini pengunjung melewati sepanjang Jalan Surabaya, akan melihat para pedagang banyak yang hanya duduk-duduk saja menunggu pembeli datang. Akankah pamor pasar barang antik ini akan betul-betul jatuh? Bila itu terjadi tentu sangat disayangkan.
Nah agar hal itu tidak terjadi, perlu berbagai kreativitas dari para pedagang, seperti memanfaatkan sosial media atau bekerja sama dengan penyedia perdagangan secara daring. Melibatkan komunitas pencinta barang antik atau benda seni, agaknya bisa dicoba pada event tertentu.
Tentu tak kalah pentingnya adalah mengharapkan perhatian yang lebih besar dari Pemda DKI Jakarta, agar apa yang dulu dirintis oleh Ali Sadikin bisa terpelihara. Siapa tahu gubernur baru Anies Baswedan dan wakilnya Sandiaga Uno, telah punya konsep untuk mengangkat kembali pamor Jalan Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H