Bila anda tidak punya agenda bepergian ke luar kota dalam rangka mengisi liburan menyambut tahun baru 2018, menonton film di bioskop terdekat adalah sebuah alternatif yang layak dipertimbangkan.Â
Di antara banyak film yang tengah diputar di ibukota saat ini, saya pada awalnya bingung juga memilih, apakah mau menonton Ayat-ayat Cinta 2 (selanjutnya ditulis AAC2) atau Susah Sinyal (SS). Namun karena kebetulan saya lagi punya waktu yang longgar, akhirnya saya hajar menonton keduanya secara berturut-turut di hari yang sama.
Karena itulah saya tergelitik untuk membuat semacam perbandingan antara AAC2 dengan SS. Dua-duanya film yang layak direkomendasikan buat ditonton masyarakat banyak, tidak saja karena menghibur, tapi juga sarat nilai-nilai kekeluargaan, sosial, budaya, dan bahkan politik.Â
AAC2, sebagai lanjutan dari AAC1, tidak diragukan lagi, judulnya saja sudah jaminan, karena dibuat berdasarkan novel best seller buah karya Habiburrahman El Shirazy. Adapun versi film, disutradarai oleh Guntur Soeharjanto.Â
Sedangkan SS, adalah karya Ernest Prakasa, yang telah berhasil menunjukkan kepiawaiannya melalui dua buah film sebelumnya, Ngenest dan Cek Toko Sebelah. Bahkan Cek Toko Sebelah tidak saja sukses menggaet jumlah penonton yang banyak, tapi juga menggaet berbagai perhargaan di ajang terhormat Festival Film Indonesia 2017.
Dilihat dari latar belakang lokasinya, AAC2 sangat memanjakan mata penonton dengan menghadirkan keindahan kota Edinburg, Inggris, dengan banyaknya bangunan kuno yang indah. Apalagi  kampus universitas tempat tokoh utamanya mengajar terlihat masih kokoh dalam usianya yang telah beberapa abad.
SS juga tak kalah memanjakan mata dengan mengangkat kemolekan alam Sumba, Nusa Tenggara Timur, baik padang rumputnya, pasir, pantai, kuda, pasar tradisional, kain tenun, dan yang paling indah adalah air terjunnya.
AAC2 menceritakan pergaulan dalam lingkup internasional, seorang Fahri, akademisi asal Indonesia yang mengajar di Edinburg, yang berinteraksi dengan orang dari berbagai bangsa, termasuk orang Yahudi yang menjadi tetangganya serta orang Turki yang menjadi istrinya. Fahri digambarkan sebagai sosok yang sangat baik, bak malaikat, dan terkesan too good to be true.
Seandainya di dunia nyata banyak orang punya pandangan dan bersikap seperti Fahri, tentu perdamaian antar bangsa lebih mudah terwujud. "Kita tidak berperang melawan Yahudi, tapi berperang melawan Zionisme", kata Fahri yang digambarkan begitu tulus membantu tetangga Yahudinya, meskipun awalnya Fahri dicaci maki karena dianggap sebagai bagian dari kelompok teroris.
Adapun SS juga menggambarkan ineteraksi antar beberapa etnis di tanah air, termasuk saudara kita keturunan Tionghoa. Para tokohnya digambarkan sebagai kelas menengah di ibukota, yang sibuk mengejar karir dan adakalanya mengorbankan keluarga. Memang dialog dalam SS tidak banyak berbau politis seperti di AAC2, tapi tidaklah kurang pesan moralnya, bila kita mengingat bangsa yang kuat pastilah dibangun mulai dari tingkat terbawah, yakni keluarga.
Baik AAC2 maupun SS sama-sama bergenre film drama, namun SS banyak menyelipkan unsur komedi karena banyaknya pemain yang berlatar belakang bintang stand up comedy, termasuk sang sutradara Ernest.Â