Di kota-kota besar di dunia, gampang ditemukan kawasan China Town, atau area tempat penduduk berdarah Tionghoa menetap. Di Indonesia hal tersebut disebut dengan pecinan. Khusus di Sumatera Barat disebut dengan Kampuang Cino.
Saya tidak tahu pasti di kota mana saja di Sumbar yang ada kampuang cino-nya. Yang jelas di tiga kota terbesar di Sumbar (Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh) terdapat kampuang cino.
Sebagai anak yang lahir dan sampai menamatkan sekolah menengah di Payakumbuh, tentu saya masih ingat bahwa di kawasan Lundang, Kecamatan Payakumbuh Barat, disebut juga kampuang cino. Kawasan ini mencakup Jalan Jakarta, Jalan Sutan Usman, Jalan Gambir, dan Jalan Tembakau.Â
Meski relatif sering pulang ke kampung, sudah lama sekali saya tidak melongok dalam arti mengamati ke kampuang cino. Memang lokasinya termasuk kawasan pusat kota, tapi tidak melintasi Jalan Sudirman, jalan negara yang menghubungkan Padang sebagai Ibu Kota Provinsi Sumbar dan Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau.Â
Bermula saat pulang kampung di awal Desember 2017 untuk menghadiri resepsi pernikahan seorang famili, selesai acara, saya bertanya pada keponakan saya, di mana soto yang enak. Seingat saya, waktu saya sekolah dulu, soto yang enak di Payakumbuh adalah Soto Minang Asli, Soto Surabaya, dan Soto Wir.
Ternyata sejak beberapa tahun terakhir ini, soto paling ramai pengunjungnya adalah Soto Che yang terletak di Jalan Sutan Usman, dan itu termasuk kampuang cino. Namun saya kaget juga yang memiliki kedai soto ini bukanlah keturunan Tionghoa (tadinya dari namanya saya pikir masih berbau Tionghoa), tapi orang asli Payakumbuh yang lama merantau di Jakarta, lalu kembali berusaha di Payakumbuh.
Nah, dari lantai dua kedai soto itu, sambil menunggu pesanan datang, dan kemudian lebih jelas lagi dari lantai tiga saat saya menumpang shalat di mushala kedai tersebut, saya melongok ke beberapa arah. Kepadatan daerah tersebut sebagai pusat bisnis, terutama grosir sembako dan hasil bumi, masih terlihat.
Namun, wajah toko yang sekaligus berfungsi sebagai rumah khas Tionghoa sudah jauh berkurang. Banyak yang sudah berganti ruko ala masa kini. Saya merasa ada sesuatu yang hilang, meski di sebagian toko masih terlihat gaya Tionghoanya.
Saat pulang ke rumah, sengaja saya melewati Jalan Jakarta, tidak lewat Jalan Sudirman, agar lebih jelas bagaimana kondisi kampuang cino saat ini. Tapi memang sudah banyak sekali perubahan dan berbeda dengan kenangan masa kecil saya.Â
Saat itu hampir setiap hari sewaktu sepulang sekolah dan sehabis makan siang di rumah, saya ke kedai bapak saya (lebih tepatnya kedai yang disewa bapak saya) menyusuri jalan tersebut, agar bapak dapat pulang sebentar ke rumah, dan tugas menjaga kedai diserahkan ke saya.
Saya teringat kata bapak saya bahwa P. K. Ojong adalah keturunan Tionghoa yang lahir dan bersekolah di Payakumbuh. Saya mencoba mencari jejak rumah kelahirannya, dan karena keterbatasan waktu, tidak bertemu. Justru dari beberapa situs online, saya mendapat foto rumah masa kecil P. K. Ojong, yang berlokasi di Jalan Jakarta nomor 66.
Kalau saja Kelompok Kompas Gramedia berniat membangun semacam museum dengan merevitalisasi rumah tersebut, tentu akan menguntungkan buat kota Payakumbuh. Bisa menjadi obyek wisata pendidikan, tidak saja bagi bagi penduduk lokal, tapi juga bagi wisatawan dari luar kota. Sekarang, beberapa obyek wisata di sekitar Payakumbuh, khususnya Lembah Harau dan Jembatan Kelok Sembilan, terbilang dikenal luas.
Payakumbuh juga sangat berarti bagi seorang penulis yang amat rajin mem-posting tulisannya di Kompasiana. Beliau sudah tidak muda lagi, tapi dedikasinya amat tinggi dengan rutin mengangkat tulisan yang bertema memberikan motivasi kepada pembacanya. Beliau adalah Tjiptadinata Effendi yang beberapa kali menulis bahwa kampung orang tuanya adalah di Payakumbuh. Artinya, beliau juga bagian dari komunitas peranakan Tionghoa Payakumbuh.
Saya cari lagi informasi lainnya, tapi tidak begitu jelas kapan sejarah kampuang cino di Payakumbuh bermula. Yang jelas, di tahun 1940-an jumlah warga keturunan Tionghoa pernah tercatat sekitar 2.000 orang dari sekitar 10.000 penduduk di kota itu.
Entah kenapa, jumlah itu menyusut. Sekarang dengan penduduk sekitar 150.000 jiwa, hanya ada sekitar 1.000 orang keturunan Tionghoa. Banyak yang merantau seperti P. K. Ojong yang menjadi penduduk ibukota sampai akhir hayatnya, atau seperti Tjiptadinata Effendi yang berdiam di Perth, Australia.
Sebetulnya pembangunan di Payakumbuh terbilang maju. Tapi memang secara umum perekonomian di provinsi tetangga, Riau, jauh lebih maju lagi ketimbang Sumbar. Dugaan saya, banyak juga keturunan Tionghoa dari Sumbar, termasuk Payakumbuh, yang pindah ke Riau.
Mudah-mudahan di hari-hari tertentu, penduduk Payakumbuh masih menikmati permainan barongsai seperti yang pernah saya lihat di waktu kecil. Pemain barongsai ini sering pula saya lihat saat latihan di halaman sebuah gedung yang yang ada tulisan "Himpunan Tjinta Teman" di depannya. Sekarang gedung itu sudah berganti ruko masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H