Jakarta semakin sesak dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Tumpukan gedung yang menjadi hutan beton ini menjadikan Jakarta tidak berbeda dengan kota metropolitan di negara maju seperti New York, London, Tokyo, Hongkong, atau Singapura. Hanya saja, di kota-kota di mancanegara tersebut diselingi oleh taman kota yang banyak dan luas, serta daerah kumuhnya juga lebih sedikit ketimbang yang kita temukan di Jakarta.
Jelaslah, gedung tinggi bukan sesuatu yang asing bagi kebanyakan warga ibukota, bahkan banyak yang bekerja di situ. Tak soal, apakah mereka hanya seorang petugas yang membersihkan kaca gedung dengan bergelantungan di lantai 45, atau seorang chief executive officer yang punya ruang kerja amat luas dan nyaman di salah satu lantai di gedung jangkung tersebut. Tak soal apakah mereka datang ke kantor dengan berkali-kali berganti angkot dari kawasan luar kota, atau naik sedan mewah dari perumahan di kawasan elit.
Seperti apa keindahan kota Jakarta dari ketinggian di atas 100 meter, atau bahkan di atas 200 meter, sudah biasa bagi banyak warga ibukota. Tapi, di antara mereka yang bekerja di gedung yang sering dijuluki sebagai pencakar langit tersebut, belum tentu banyak yang sudah pernah menginjakkan kaki di atap gedung tempatnya bekerja.Â
Soalnya, atap gedung yang biasanya tidak diberi pagar di semua sisinya, memang bukan wilayah yang aman buat publik. Hanya petugas khusus seperti tenaga keamanan atau teknisi yang terbiasa berdiri di atap yang datar terbuka, sehingga kalau lagi angin kencang bisa mengerikan juga. Jadi, kesibukan karyawan di atap gedung pencakar langit praktis amat jarang terjadi.
Di samping fungsinya sebagai atap gedung, ada fungsi lain yang juga ditempatkan di sana, yakni tempat tiang-tiang, menara, atau parabola untuk keperluan jaringan kominikasi. Di beberapa gedung tersedia pula helipadatau landasan buat helikopter di atapnya. Tapi, sebetulnya frekuensi pendaratan helikopter di atas sebuah gedung pencakar langit di negara kita, boleh dikatakan relatif jarang. Namun bila ada kejadian yang bersifat darurat, tentu fasilitas tersebut bisa dimanfaatkan.Â
Lalu sedapnya di mana? Sedapnya adalah untuk memanjakan mata. Ternyata Jakarta ini terlihat begitu indah bila dilihat dari ketinggian. Bila kita berada di jalanan ibukota, kemungkinan yang terpikir adalah keluhan semata karena macetnya, polusinya, kesemrawutannya, maka dari atas semua itu jadi sirna. Bahkan sungai kecil atau kali yang ada di sisi kiri gedung BNI, yang kalau saya lewati sehari-hari tidak punya daya tarik apa-apa, dari atas terlihat menawan.
Dari atap itu pulalah kami dapat melihat gedung-gedung lain yang lebih tinggi. Yang terdekat adalah tetangga, yang masih terhitung "saudara" dari Kantor Pusat BNI, yakni Gedung Wisma 46. Gedung ini pernah menjadi yang tertinggi di Indonesia. Arsitekturnya unik karena mirip pena, dan sampai sekarang masih menjadi salah satu ikon kota Jakarta. Gedung Astra yang sedang dalam tahap penyelesaian akhir juga terlihat berdiri kokoh. Di kejauhan kelihatan pula gedung setinggi 289 meter yang memegang rekor tertinggi di negara kita saat ini, Gama Tower.
Di depan ruangan tersebut ada patung RM Margono dengan latar belakang kalimat sebagai berikut;"Harus selalu diingat bahwa bank kita ini adalah sebagai anak kandung Republik Indonesia, merupakan bank nasional pertama di dalam negara Indonesia merdeka", dan dibubuhi tanda tagan beliau. Tentu maksudnya agar insan BNI selalu bisa memelihara nilai perjuangan bank yang lahir pada tanggal 5 Juli 1946 ini.
Banyak pula lukisan dari pelukis ternama yang dipajang di ruang RM Margono Djojohadikoesoemo tersebut. Agar publik bisa menikmati, alangkah baiknya bila manajemen BNI memperbanyak eventyang diadakan di ruangan ini, atau yang pesertanya diberi kesempatan mengunjunginya. Toh, hal ini bisa menjadi alat promosi bagi BNI. Sayang sekali bila lukisan terpampang tanpa dinikmati publik.
Kembali ke soal pemandangan, sebetulnya ada banyak gedung pencakar langit di Jakarta yang di lantai atasnya terdapat restoran untuk publik, bahkan ada restoran yang terletak  di rooftop alias di atapnya. Namun karena merupakan ruang publik, restoran tersebut biasanya dipasangi pagar kaca. Dan sensasi melihat ke bawah tanpa kaca penghalang  seperti yang saya tulis di atas, jelas lebih syahdu.
Pembaca, sebagai pendukung, saya menyertakan beberapa foto dari dokumen pribadi pada tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H