Mungkin banyak pembaca Kompasiana yang tidak ngeh kalau hari ini, Minggu, 22 Oktober 2017, dirayakan sebagai Hari Santri Nasional. Saya sendiri tanpa sengaja mengetahuinya melalui pemberitaan dari salah satu stasiun televisi nasional. Lalu segera saya buka beberapa website, dan ternyata sejak tahun 2015 yang lalu, pemerintah telah menetapkan setiap tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri.
Dengan memperingati Hari Santri, masyarakat kembali mengenang betapa hebatnya perjuangan para santri dan kiai dalam melawan penjajah Belanda. Sejarahnya adalah, pada tanggal 21 Oktober 1945, para kiai se Jawa dan Madura berkumpul di Kantor Ansor Nahdatoel Oelama (ANO) Surabaya, dan setelah rapat sehari semalam, pada tanggal 22 Oktober 1945 dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah membela kemerdekaan Indonesia. Jelaslah, pada peristiwa heroik tanggal 10 November 1945 yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan, kontribusi para santri tidak bisa dipungkiri.
Saya tidak bermaksud menulis tentang sejarah, karena saya tidak punya kapasitas untuk itu. Justru saya lebih tertarik mengangkat hal-hal ringan tentang dinamika keseharian para santri. Banyak orang kota, yang belum pernah masuk ke pesantren, yang menilai para santri hanyalah anak-anak bersarung dan berpeci, mondok di pesantren dengan fasilitas apa adanya (bukan seperti boarding school di kota-kota), dan belajar kitab agama jadoel dari para kiai pengasuh. Ya, gambarannya kurang lebih sebagai sistem pendidikan yang ketinggalan zaman untuk kalangan masyarakat kelas bawah di kampung-kampung.
Mohon maaf kalau saya pun dulu termasuk yang menilai seperti itu. Tapi ternyata, oh ternyata, dunia santri penuh dinamika. Para santri juga tidak banyak berbeda dengan anak kota. Mereka paham tentang dunia maya, perkembangan mode, musik, film, olahraga, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit santri yang berasal dari keluarga mapan di kota besar, yang orang tuanya sengaja membekali anaknya dengan pendidikan pesantren agar memiliki pengetahuan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Dan sekarang ada beberapa pesantren yang dikelola secara modern yang mampu menarik minat anak-anak dari berbagai daerah di tanah air, bahkan dari luar negeri.
Adalah novel-novel berlatar belakang dunia santri, yang membuat saya sadar, bahwa pondok pesantren menggunakan sistem pendidikan yang tidak kalah dengan sistem di sekolah umum, dan telah terbukti berhasil melahirkan generasi yang lebih berkualitas. Bagi yang senang mengamati perkembangan sastra Indonesia, tentu mengetahui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini ada beberapa penulis, yang dulunya adalah seorang santri, sukses menjadi novelis best-seller saat ini.
Paling tidak ada dua novelis besar yang sudah mendapat pengakuan dari beberapa negara lain, yang berjasa mengangkat kisah dunia santri, sehingga bagi publik yang under estimate terhadap pesantren, bisa merubah mindset-nya. Novelis tersebut adalah Habiburrahman El Shirazy dan Ahmad Fuadi. Keduanya pernah nyantri di pondok pesantren dan menyelesaikan pasca sarjana di luar negeri. Habiburrahman, yang populer dengan panggilan Kang Abik, kuliah di Kairo, Mesir, sedangkan Ahmad Fuadi kuliah di London dan Washington.
Bagi anda yang pernah menonton film "Ayat-Ayat Cinta", itulah film yang meraih sukses besar, yang diangkat dari novel fenomenal berjudul serupa, buah karya Kang Abik. Masih banyak karya Kang Abik lainnya, dan yang paling baru adalah novel Bidadari Bermata Bening, yang barusan tuntas saya lahap.
Dari novel-novel Kang Abik-lah saya jadi tahu, para santri, sebagaimana remaja pada umumnya, juga menyimpan rasa ketertarikan pada lawan jenisnya. Namun Kang Abik mampu menggambarkan kisah cinta romantis yang dibungkus oleh nilai religius. Jangan bayangkan tokoh-tokohnya bertingkah kayak remaja berpacaran di sinetron. Mereka tidak bersentuhan secara fisik, tapi dari tingkah polahnya, tutur bahasanya, dan doa-doa yang dilantunkannya, tokoh utama di novel Kang Abik digambarkan gigih dalam belajar, pantang menyerah dalam meraih cita-cita, dan tekun dengan amalan-amalannya, dan akhirnya happy ending dalam arti menikah dengan orang yang dicintainya.
Menariknya, emosi pembaca telah diaduk-aduk duluan sampai meneteskan air mata, karena kisah happy ending tersebut didapat dengan cara yang berliku dengan berpisah sekian lama. Memang pola Kang Abik biasanya menceritakan hubungan yang tidak setara antar seorang yang berasal dari orang tua yang tidak berpunya dan seorang dari keluarga mapan. Tapi keduanya digambarkan saat remaja dididik di sebuah pesantren.Â
Bagi yang jeli tentu bisa menangkap, bahwa kisah cinta sebetulnya bukan tujuan utama dari novel karya kang Abik. Justru sisipan dakwah secara tersamar-lah yang menjadi nilai utama. Betapa kedua tokoh utama, setelah akad nikah pun, saat menikmati "malam pertama", yang artinya hubungan mereka telah halal, diceritakan secara romantis bernuansa religius karena mencantumkan apa doa yang dilantunkan mereka. Fungsi suami sebagai imam tergambar jelas. Imam tidak berarti otoriter, tapi sangat mengerti dalam menghargai dan melindungi istri.
Adapun Ahmad Fuadi menghasilkan serial novel yang ditulis berdasarkan pengalamannya yang saat tamat SD di sebuah kampung di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat, dikirim orang tuanya mondok di Pesantren Gontor, Jawa Timur. Perjalanan naik bus melintasi pulau Sumatera ke Gontor, kemudian beradaptasi dengan kultur pesantren, serta membaur dengan santri dari berbagai suku diceritakan pada novel negeri "Lima Menara". Tidak banyak unsur romantisnya ketimbang novel Kang Abik, tapi bernilai edukatif dan dakwah inklusif.