Sebagian pengguna jalan tol saat ini diresahkan dengan adanya aturan yang mewajibkan penggunaan uang elektronik (UE) dalam pembayaran ongkos tol yang dilewatinya. Aturan ini akan berlaku secara bertahap dan pada akhir bulan Oktober 2017 ini semua ruas jalan tol sudah tertutup bagi yang tidak punya uang elektronik.
Masalahnya bukan kepada bagaimana menumbuhkan kebiasaan menggunakan uang elektronik sebagaimana yang lazim diterapkan di luar negeri, tapi pada beban yang akan dikenakan bank penerbit uang elektronik untuk setiap kali pengguna uang elektronik melakukan top up atau mengisi ulang saldonya. Belum begitu jelas seberapa besar beban yang akan dibebankan pada nasabah, karena akan diatur oleh Bank Indonesia terlebih dahulu.Â
Barangkali modelnya akan sama dengan pengisian pulsa handphone, di mana setiap mengisi pulsa melalui anjungan tunai mandiri (ATM), nasabah dikenakan biaya sekitar Rp 1.000 sampai Rp 3.000 tergantung bank yang memiliki ATM. Bahkan biayanya bisa lebih mahal, bila pengisian pulsa dilakukan dengan kartu Bank A tapi memakai ATM Bank B.Â
Sebetulnya selama ini, terutama bagi anak muda yang berusia di bawah 40 tahun dan tinggal di perkotaan, relatif sudah akrab dengan uang elektronik karena bisa dipakai untuk berbagai keperluan. Di samping uang elektronik, mereka yang melek internet ini juga terbiasa dengan transaksi nontunai lainnya seperti dengan kartu debet (sering disebut kartu ATM karena digunakan di mesin ATM, tapi juga bisa digesek pada mesin electronic data captured yang terdapat di meja kasir berbagai toko dan mini market), pembayaran melalui mobile banking, internet banking, dan aplikasi lainnya.
Disadari atau tidak, setiap melakukan transaksi tersebut, sebagian saldonya langsung terpotong untuk biaya transaksi. Â Hal ini sering tidak muncul di layar saat bertransaksi, namun karena potongannya kecil, yakni sekitar Rp 500 sampai Rp 7.500 (jika lawan bertransaksi berbeda bank dengan si pembayar, biayanya lebih mahal), sehingga nasabah merasa tidak ada apa-apa.Â
Apalagi nasabah yang anak muda dan remaja tidak lagi terbiasa mencetak buku tabungan yang berisikan rincian transaksi, sebagaimana kebiasaan nasabah berumur di atas 40 tahun, yang mengenal bank saat transaksi nontunai belum marak. Mencetak buku tabungan dianggap budaya lama yang tidak efisien karena harus datang ke kantor bank, antri dulu sampai dilayani oleh customer service bank.
Jadi sepertinya ada paradoks, semacam gap antar generasi. Di satu sisi, banyak anak muda yang saldo tabungannya relatif kecil karena baru bekerja dan bahkan ada yang masih minta jatah dari orang tua karena berstatus mahasiswa, sudah terbiasa dengan transaksi nontunai. Mereka ini tidak keberatan dengan ongkos transaksi yang dibebankan bank, baik karena tidak menyadarinya atau karena merasa ongkos itu telah terkompensasi dengan kemudahan yang diberikan bank.
Namun di sisi lain, ada para orang tua yang saldo tabungannya relatif besar, tapi merasa keberatan bila dipaksa bertransaksi secara nontunai. Penyebabnya adalah karena mereka rata-rata masih gagap teknologi (gaptek). Ketika mereka mencoba bertransaksi memakai kartu, mungkin karena gugup, jadi salah pencet atau salah menempelkan kartu, Â akhirnya transaksi memakan waktu lama, atau bahkan transaksi bisa gagal. Nah, kalau yang beginian dipaksa terus, apalagi dibebani ongkos transaksi, wajar bila para orang tua mengajukan keberatan.
Kenapa bank besar berani menggratiskan, mudah dipahami. Uang elektronik yang masih bersaldo, akan tercatat sebagai simpanan di bank yang tidak dibebani bunga. Padahal, kalau saldo tersebut masih ngendon di tabungan milik nasabah (belum berpindah ke kartu uang elektronik), bank memberikan bunga kepada si penabung. Jadi, saldo uang elektronik yang belum dibelanjakan pemiliknya adalah dana murah bagi bank, yang kalau dikalikan sekian juta pemegang uang elektronik, jumlah saldonya bisa lumayan besar yang bisa diputarkan bank menjadi kredit yang disalurkan kepada para peminjam. Nah dari bunga atas kredit tersebutlah selama ini yang menjadi sumber utama laba bank.
Harapan kita Bank Indonesia bisa mempertimbangkan banyak hal sewaktu memutuskan aturan tentang pembebanan biaya isi ulang uang elektronik. Contohnya bila ada bank yang mampu menggratiskan kepada nasabahnya, bisa diakomodir dalam aturan tersebut. Tapi bila ada bank yang membebankan biaya isi ulang, maka hanya berlaku bagi kalangan yang mampu yang sekali mengisi ulang, nominalnya Rp 100.000 ke atas. Â Bagi yang mengisi hanya Rp 50.000 sekadar bisa melewati jalan tol untuk satu atau dua hari, janganlah dibebankan biaya. Bahkan sekadar biaya Rp 1.000 pun bagi yang mengisi Rp 25.000, itu terhitung besar.
Selanjutnya pro-kontra tentang biaya isi ulang uang elektronik jangan sampai mengurangi upaya berbagai pihak yang terkait untuk tidak henti-hentinya memberikan edukasi penggunaan uang elektronik pada masyarakat banyak, terutama kelompok itu tadi, yang berumur di atas 40 tahun. Para petugas di gerbang tol pasti akan berkurang dengan adanya kewajiban konsumen mengunakan uang elektronik. Tapi tetap perlu beberapa petugas yang mengawasi sekaligus menjadi pendamping bila ada masalah dengan penggunaan uang elektronik seseorang. Mereka yang gaptek pasti semakin gugup bila melihat tidak ada petugas sama sekali yang bisa dimintai bantuan sekiranya uang elektronik mereka bermasalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H