Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Banda, Bukan Film Dokumenter Biasa

6 Agustus 2017   21:18 Diperbarui: 7 Agustus 2017   12:42 1028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dugaan saya ternyata keliru. Bahwa film semi-dokumenter seperti film berjudul "Banda, The Dark Forgotten Trail" yang tengah diputar di bioskop tertentu di ibukota bakal sepi penonton, kenyataannya hanya baris paling depan saja yang kosong. Itu yang saya lihat di bioskop Plaza Senayan, Minggu sore (6/8).

Memang profil penontonnya banyak berusia di atas 50 tahun, tapi beberapa remaja dan anak muda juga ada. Boleh dikatakan "pertaruhan" untuk menjual film karya sutradara Jay Subiakto ini secara komersial, lumayan berhasil. Secara sinematografi, mutunya tidak kalah dari film dokumenter asing yang sering muncul di layar kaca.

Film ini mengungkapkan sejarah jalur rempah yang diburu oleh negara-negara adidaya di Eropa di abad ke 15, yang jauh lebih dahsyat dari jalur sutera. Dan jalur rempah itu berarti menuju ke Pulau Banda, pulau kecil yang sangat indah di Maluku, penghasil buah pala terbaik di dunia.

Saat itu buah pala lebih berharga dari emas, karena kemampuannya mengawetkan makanan ketika belum ada teknologi pengawet seperti sekarang. Nah sejarah keserakahan bangsa Eropa yang memaksakan kehendaknya dalam memonopoli perdagangan pala dikisahkan secara asyik di film ini, sehingga penonton tidak seperti membaca buku sejarah yang kaku.

Apalagi film ini didukung oleh narasi yang enak didengar dari suara aktor terkenal Reza Rahadian, dan latar belakang musik yang apik. Gambar-gambar indah yang berpindah dari pantai, gunung api, taman bawah laut, benteng peninggalan zaman kolonial, suasana perkampungan, dan tentu saja buah pala yang di close-up, membuat penonton terpaku menikmati.

Emosi penonton juga terhanyut saat di bagian akhir film diceritakan kehidupan masyarakat multi etnis di Banda yang sangat harmonis sempat terkoyak kerusuhan sebagai dampak dari konflik di Ambon tahun 1999. Namun film ini ditutup dengan optimisme masyarakat lokal yang giat membangun untuk masa depan Banda, termasuk dengan mengembangkan fasilitas di bidang pariwisata.

Banda, selama ini hanya dikenal dari buku sejarah di bangku sekolah, karena di sanalah strategi perjuangan untuk kemerdekaan RI  dirancang oleh para tokoh pejuang yang diasingkan Belanda. Tokoh tersebut di antaranya adalah Hatta dan Syahrir, yang sekarang namanya diabadikan sebagai nama pulau di sekitar Pulau Banda.

Secara geografis Banda cukup jauh dari Jakarta, makanya Belanda memilih Banda sebagai lokasi pembuangan para pejuang yang mengancam kekuasaan Belanda. Karena jaraknya itu pula yang sampai sekarang  membuat  penduduk dari luar Maluku, jarang yang berkunjung ke sana.

Nah, sambil menunggu kesempatan untuk bisa berkunjung ke pulau bersejarah tersebut, dan bersamaan pula dengan momen peringatan hari ulang tahun kemerdekaan kita, ada baiknya kita nikmati film ini. Banda, bukan film dokumenter biasa, tapi bernilai edukatif dan sekaligus menghibur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun