Sembilan puluh tujuh triliun rupiah dana yang terkumpul dari calon jamaah haji (calhaj), jelas jumlah yang amat besar. Ketika akhirnya pemerintah membentuk badan resmi yang dibentuk khusus untuk mengelola dana tersebut, langsung saja menuai pro-kontra dari berbagai kelompok masyarakat.
Terlepas dari tinjauannya secara syariah Islam, kenyataannya selama ini, dana tersebut "diputarkan" dulu, baik oleh bank tempat para calhaj menabung, maupun oleh Kementerian Agama, bila dana tersebut telah berpindah dari tabungan haji atas nama individu calhaj masuk ke giro kementerian tersebut bila si calhaj telah dapat kepastian keberangkatan dan melunasi ongkos naik haji (ONH). Yang jelas, hak-hak jamaah untuk keperluan ibadah haji seperti biaya transportasi dan akomodasi telah dijamin pemerintah.
Secara finansial, ada tenggang waktu yang relatif lama sejak  calhaj melunasi ONH dengan jadwal keberangkatan ke tanah suci. Nah, hal inilah yang disebut idle money alias dana menganggur, yang akan produktif bila diputarkan ke instrumen yang aman, seperti membeli obligasi atau surat utang yang diterbitkan negara, yang dijamin pengembaliannya, termasuk imbal jasanya, oleh negara.Â
Imbal jasa itulah yang seharusnya dikritisi, apakah untuk menambah kenyamanan calhaj dan untuk kesejahteraan ummat, atau melenceng untuk hal lain. Sedangkan pokok pinjaman oleh negara, apakah digunakan untuk membangun infrastruktur atau hal lain, sepanjang pelunasannya lancar sehingga bisa dipakai saat para calhaj berangkat, seyogyanya tidak perlu dipersoalkan.
Toh cara yang sama dipakai oleh pengelola "ONH Plus", yakni calhaj kelas premium yang mempercayakan pengurusan haji kepada pihak biro jasa travel swasta yang terdaftar. Justru inilah yang beberapa kali pernah bikin kisruh karena memutarkan dana dari calhaj secara spekulatif dan serampangan, sehingga banyak calhaj yang rugi karena urung berangkat ke tanah suci.
Makanya kebijakan pengelolaan dana haji versi badan resmi pemerintah memang harus dikawal ketat pada saat diimplementasikan. Jangan sampai pemanfaatan dana tersebut berbau spekulasi atau menjadi bancakan oknum koruptor.
Bila ada Calon Haji yang tidak ingin uangnya diputarkan oleh pihak lain, maka harus berangkat sendiri ala backpacker, yang secara teknis sulit dilakukan. Itupun saat menabung tidak bisa dilakukan di bank, karena yang namanya bank syariah sekalipun pasti menggunakan tabungan yang diterimanya dari nasabah untuk disalurkan sebagai kredit (istilah bank syariah adalah pembiayaan) kepada pihak yang membutuhkan pinjaman dan telah memenuhi persyaratan bank.
Jadi kalau begitu calon haji harus kembali ke era jadoel dengan menabung di balik bantal, atau bisa juga mencicil membeli emas dan disimpan di rumah. Kalau ingin tetap disimpan di bank, tapi tidak ingin pihak bank memanfaatkan uang tersebut, maka simpan di safe deposit box (SDB) yang disewakan bank.
Ada yang berpendapat calhaj harus dimintakan persetujuan bahwa dana yang disetornya akan dipakai terlebih dahulu oleh badan pengelola. Bisa saja sih biar afdol. Tapi ingat sewaktu seseorang menabung di bank, ia tak pernah dimintai persetujuan bahwa uangnya akan diputarkan sebagai kredit oleh bank. Yang jelas kapan si penabung minta uangnya, bank harus memberikan. Kalau banknya bangkrut akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sepanjang memenuhi persyaratan.
Kesimpulannya, mari kita beri kepercayaan kepada lembaga resmi yang disebut Badan Penglola Keuangan Haji (BPKH) untuk memulai tugasnya. 7 orang Dewan Pengawas mewakili pemerintah dan masyarakat serta 7 orang profesional sebegai anggota BPKH baru saja dilantik Presiden Joko Widodo tanggal 26 Juli yang lalu. Kita ucapkan selamat bekerja dan mohon dengan hormat untuk tidak mencederai kepercayaan ummat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H