Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membesarkan Koperasi Karyawan Secara Sehat

16 Juli 2017   21:25 Diperbarui: 17 Juli 2017   04:36 5971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: shutterstock

Berikut dipaparkan sebuah contoh imajiner. Katakanlah ada perusahaan besar berskala nasional yang bernama PT XYZ yang punya jaringan kantor di seluruh Indonesia. Hitung sendiri berapa belanja tahunan PT XYZ untuk membangun dan memelihara gedung kantor, gudang, toko, rumah dinas, dan sebagainya. Berapa kendaran dinas harus dibeli atau disewa. Berapa pakaian seragam karyawan harus diadakan. Berapa mesin foto kopi, kertas, alat tulis, harus dibeli?

Nah, celah itulah, yang selama ini diisi oleh pemasok dari luar, coba diisi oleh Koperasi Karyawan PT XYZ yang ada di kantor pusatnya di Jakarta, yang telah dikelola oleh manajer profesional. Sekiranya 10 sampai 20 persen saja belanja PT XYZ "jatuh" ke koperasi karyawannya sendiri, itu sudah cukup melambungkan omzet koperasi, jauh lebih tinggi dari sekadar simpan pinjam karyawan.

Tentu keberadaan koperasi karyawan seperti itu merupakan hal yang positif dalam perkoperasian kita. Masalahnya adalah apakah praktek seperti itu sudah sejalan dengan jiwa koperasi yang "dari dan untuk anggota" itu tadi.

Kalau koperasi menggarap bidang usaha sesuai dengan kompetensinya dan memenangkan penawaran untuk memasok barang dan jasa yang dibutuhkan perusahaan secara fair, tentu oke-oke saja, karena telah sesuai dengan prinsip good corporate governance.

Tapi sekiranya koperasi karyawan hanya menjadi "label" semata dan menjadi pintu masuk bagi pihak lain agar dipakai sebagai pemasok perusahaan "induk" dari koperasi karyawan, maka ini perlu dicermati secara kritis. Hal ini membuat kabur siapa yang memanfaatkan siapa.

Banyak perusahaan pemasok yang dulu kalah, coba masuk lagi dengan menggandeng koperasi. Kalau gara-gara ini harga jadi mahal karena koperasi mencari pihak ketiga untuk berbisnis memakai bendera koperasi, maka logikanya koperasi akan kalah saat  tender.

Bila kenyataannya koperasi karyawan memenangi tender meskipun dengan menggandeng mitra dari luar, dengan asumsi prosesnya berlangsung obyektif, tentu karena sang mitra memang hebat. Betapa tidak, walaupun pihak mitra harus berbagi untung dengan koperasi, toh harga yang ditawarkannya masih bersaing tanpa mengurangi mutu atau spesifikasi yang diminta perusahaan pemesan barang atau jasa.

Sekarang tinggal dilihat saja, koperasi karyawan yang menempel pada perusahaan besar dan beromzet sampai trilyunan rupiah per tahun, apakah berkembang dengan wajar atau karena dikarbit dengan cara yang mencederai asas persaingan usaha yang sehat.

Selama ini praktis koperasi karyawan yang menggurita jarang diliput, karena dianggap sudah baik, apalagi "diasuh" oleh perusahaan besar. Memang kalau berbicara tentang mempersempit kesenjangan kesejahteraan masyarakat, koperasi yang paling banyak diulas adalah koperasi yang beranggotakan para petani, pedagang kecil, dan buruh yang tingkat upahnya rendah. Adapun karyawan di perusahaan besar dan BUMN relatif kondisinya lebih baik dibanding kelompok masyarakat di atas.

Namun tentu upaya untuk mengembangkan koperasi karyawan yang menempel di perusahaan besar, sah-sah saja. Bahkan perlu didukung sepanjang dilakukan secara sehat. Maksudnya koperasi tersebut berhasil berkat kegigihan pengurus yang didukung oleh keaktivan mayoritas anggotanya, tanpa melanggar etika bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun