Mungkin saya salah karena tidak menganggap peristiwa lebaran yang rutin terjadi setiap tahun sebagai sesuatu yang sakral. Saya yang telah lebih tiga puluh tahun ber-KTP Jakarta, bahkan di saat orang tua saya masih hidup, tidak mewajibkan diri sendiri untuk pulang ke kota kelahiran saya, Payakumbuh, Sumatera Barat, di setiap lebaran.
Namun demikian, di luar momen lebaran, sebetulnya saya relatif sering pulang kampung, baik karena ada famili yang menikah, sakit, meninggal, sekedar berwisata, maupun mendompleng bila saya lagi dalam acara dinas ke Padang atau Pekanbaru, yang tidak begitu jauh dari Payakumbuh.
Lalu kenapa di tahun 2017 ini saya memutuskan mudik sekeluarga dengan memakai mobil pribadi? Itu tidak lain karena menghargai dua kakak dan dua adik perempuan saya yang setiap lebaran selalu berharap saya dengan membawa istri dan tiga anak bisa berkumpul bersama mereka. Soalnya momen lebaran di mata saudara saya sangat istimewa, sehingga semuanya (kecuali saya) selalu berkumpul. Apalagi mereka berdomisili di Sumbar dan Riau yang relatif dekat ke Payakumbuh.
Saya pikir telah 8 kali lebaran saya tidak berkumpul bersama saudara. Terakhir saya mudik di lebaran 2008 saat ayah saya masih ada (beliau meninggal tahun 2009 menyusul ibu saya yang meninggal tahun 1990). Sebelumnya saya berunding dengan istri dan anak-anak yang semuanya masih berstatus mahasiswa/i yang diwarnai pro-kontra yang sengit. Soalnya saudara dari istri saya semuanya berada di Jakarta, dan anak-anak saya juga terbiasa berlebaran dengan anak-anak dari saudara istri saya.
Yang membuat pro-kontra sebetulnya gara-gara saya mengusulkan mudik dengan mobil sendiri, menempuh perjalanan darat (termasuk menyeberangi Selat Sunda) sejauh lebih kurang 1.500 km atau 3.000 km pulang pergi. Masalahnya kalaupun saya berhasil mendapatkan tiket pesawat pulang pergi dengan harga yang sudah selangit, saya tetap butuh kendaraan di kampung. Ternyata mau menyewa mobil di masa lebaran, setelah saya menghubungi beberapa teman di Payakumbuh, tidaklah gampang.
Adapun anak-anak saya karena kemanjaannya menolak dengan tegas karena tidak mau kecapean sekitar 36 sampai 42 jam di perjalanan. Saking tegasnya penolakan tersebut, sampai-sampai di hari H-1 saya memutuskan untuk tidak mudik dan telah meminta maaf pada semua saudara yang telah berkumpul di Payakumbuh. Adik saya mencoba merayu dengan menawarkan mobilnya untuk kami pakai selama mudik, dan akan menjemput kami ke bandara. Tapi saya tetap menolak karena masing-masing saudara saya hanya punya satu mobil dan pasti mereka membutuhkan untuk berlebaran ke besan mereka.
Entah kenapa, setelah salat Idul Fitri, anak-anak saya kompak setuju untuk mudik dengan catatan mobil tidak penuh barang, dan tidak melakukan perjalanan malam hari dengan mencari hotel atau penginapan di kota yang dilalui di malam hari. Segera berita gembira ini saya kabarkan ke kakak saya.
Besoknya, Senin 26 Juni sekitar jam 3 sore berangkatlah kami meninggalkan ibukota menuju Payakumbuh, dengan ditemani satu orang teman yang juga berfungsi sebagai pengemudi. Tentu kami tidak lupa melapor ke Pak RT dan memeriksa segala sesuatunya untuk keamanan rumah sebelum berangkat.
Tidak ada kemacetan karena kami mudik tidak di arus puncaknya. Jam 16.30 sore kami sudah berada di kapal penyeberangan, dan jam 19.00 sudah menjejakkan kaki di Pulau Sumatera. Sebagai catatan, tol Jakarta - Merak tarifnya Rp 45.000 dan ongkos ferry untuk kendaraan pribadi adalah Rp 374.000. Untuk bahan bakar, teori saya setiap tangki telah terpakai separo, langsung diisi lagi, takut susah mencari tempat pengisian bahan bakar.
Kenyataannya, karena saya memilih jalur tengah, yang lazim disebut "Jalan Lintas Sumatera", relatif gampang mengisi bahan bakar. Sejauh-jauhnya setelah jarak 40 km pasti ketemu pom bensin. Bahkan bila memasuki kota-kota yang dilewati, di setiap kota punya beberapa pom bensin di radius yang berdekatan. Dengan memakai bahan bakar pertalite, saya menghabiskan uang Rp 750.000 untuk sekitar 100 liter bahan bakar agar sampai ke Payakumbuh. Â
Sebagai informasi, ada tiga jalur bila kita melakukan perjalanan darat sepanjang Sumatera, khususnya dari Lampung di unjung selatan ke berbagai kota di Sumbar. Pertama, jalur barat menyusur pantai melewati kota Bintuhan, Mana, Bengkulu, Mukomuko, Painan, dan Padang. Kedua, jalur tengah melewati Kotabumi, Baturaja, Muara Enim, Lahat, Lubuk Linggau, Sarolangun, Bangko, Muarobungo, Sijunjung, dan Padang. Ketiga, jalur timur dengan melewati Palembang, Sekayu, Jambi, baru balik ke tengah menuju Bangko.
Jalur barat relatif sempit jalannya, dan juga jarak antar kota berjauhan, sehingga dikhawatirkan sulit mencari tempat mengisi bahan bakar atau mencari rumah makan. Jalur timur sebetulnya jarak tempuhnya lebih pendek, tapi sayangnya kondisi jalan dari Palembang ke Jambi berdasarkan informasi yang saya dapatkan relatif jelek. Itulah makanya saya memilih jalur tengah, meski juga ada jalan yang banyak lubangnya di sekitar Baturaja dan di awal memasuki daerah Sumbar.
Mencari rumah makan juga relatif gampang di jalur tengah ini. Alhamdulillah, saya tidak mengalami "dipalak" saat beberapa kali makan di jalan. Harga yang dikenakan relatif wajar, tidak seperti pengalaman beberapa orang yang ditulis di medsos yang merasa ditagih berlebihan setelah makan di warung makan.
Perlu pula menyiapkan uang recehan Rp 2.000 yang banyak, tidak saja untuk sumbangan setelah menggunakan toilet di pom bensin atau masjid, juga untuk di beberapa titik, ada anak-anak semacam pak ogah di Jakarta yang menjaga agar kendaraan berjalan dengan pelan di area yang rawan longsor. Ada pula yang memasang "polisi tidur" di jalan agar mobil berjalan pelan di depan masjid yang ada petugasnya meminta sumbangan.
Memilih jalur tengah, meskipun lebih lancar perjalanannya, namun sepanjang jalan tidak banyak melewati obyek wisata. Berbeda bila kita lewat jalur barat, pemandangan pantai di banyak kota yang dilalui pasti akan menggoda. Namun demikian, karena banyaknya kota-kota yang dilewati di jalur tengah, lumayan mengasyikkan juga.Â
Beberapa pemandangan sayang untuk dilewatkan selama di perjalanan. Pertama, selama berada di kapal ferry, sebaiknya turun dari mobil dan kitari semua pojok-pojok kapal untuk menikmati udara segar, lautan biru, pulau-pulau kecil, mercu suar, dan tentu saja kesibukan baik di dermaga Merak sebagai tempat keberangkatan, maupun di Bakauhuni sebagai tempat kedatangan.
Kedua, setiap memasuki suatu kota, meski ada jalur alternatif yang bisa menghindari keramaian kota untuk truk dan bus, saya sengaja memilih masuk kota. Ada keasyikan tersendiri melihat alun-alun kota, keramaian pasar, masjid raya, dan suasana kota lainnya. Toh, dari sebanyak kota yang dilewati, hanya Lubuk Linggau yang terbilang besar dan relatif macet, sehingga menambah waktu tempuh sekitar 30 menit.
Di sebuah kota kecil sebelum itu, Tebing Tinggi, saya tertarik menyaksikan becak motor serba guna yang banyak bersliweran. Becak ini bisa memuat orang, bisa juga memuat barang, yang ditempatkan di samping kiri pengemudi.
Di sepanjang jalur Baturaja - Muara Enim, jalan rayanya bersisian dengan sungai. Saya yang melewati daerah tersebut di pagi hari menemui hal yang unik, yakni dari rumah-rumah panggung tersebut terlihat para penghuninya berjalan, ada juga yang naik sepeda dan motor, menuju sungai sambil menenteng peralatan mandi dan menyandang handuk. Rupanya penduduk di sana masih memelihara budaya mandi di sungai, meski airnya tidak lagi bening.Â
Tidak salah kalau Sumatera dijuluki sebagai "Bukit Barisan", karena memang sering terlihat jejeran gunung dan bukit. Di dekat Lahat, ada sebuah gunung yang unik karena puncaknya yang mirip kubah, lengkap dengan mirip menara di atas kubahnya.Â
Satu-satunya pemandangan yang membuat "kotor" di banyak tempat adalah bertebarannya spanduk kampanye calon bupati. Hal ini ditemui hampir sepanjang perjalanan dalam radius yang berdekatan.
Kota-kota di Jambi yang kami lewati (Sarolangun, Bangko dan Muarobungo) terlihat asri dengan jalan raya yang lebar, dan taman pemisah jalur yang cantik. Sepanjang jalan antar tiga kota ini sejauh kira-kira 180 km enak ditempuh karena jalannya lebar, lurus, dan relatif mulus. Di setiap kota relatif gampang mencari hotel, meski berkategori hotel melati. Tanpa dipesan sebelumnya pun, saya masih bisa mendapatkan kamar di sebuah hotel di Muarobungo.Â
Melihat banyaknya pemudik ke Padang, awalnya saya khawatir akan kesulitan mencari hotel. Ternyata mayoritas pemudik hanya beristirahat beberapa jam saja di pom bensin. Tak heran bila di pom bensin akan ditemui banyak sekali mobil yang parkir. Mereka ke toilet dan juga mandi menggunakan fasilitas pom bensin. Termasuk pula melakukan shalat dan tidur sejenak. Bila mushalanya kecil, mereka tidur di mobil.Â
Sebetulnya ada tempat istirahat lain yang juga gratis, bahkan tersedia teh dan kopi yang juga gratis, yakni di posko yang ada di setiap Polsek. Artinya di setiap kecamatan pasti dijumpai posko, dan di depannya dipasang spanduk yang bertuliskan tersedianya fasilitas tersebut. Tapi entah kenapa pemudik lebih senang beristirahat di pom bensin. Barangkali karena sekalian mengisi bahan bakar.
Bila siang hari, mobil para pemudik tidaklah beriringan dalam suatu konvoi. Jadi kesan macet seperti yang terlihat pada tayangan televisi yang meliput suasana mudik di Pulau Jawa, tidak terlihat di Sumatera, kecuali di sekitar dermaga penyeberangan saja. Â Namun memasuki malam hari, tanpa diatur, mobil-mobil akan membentuk konvoi, karena masing-masing saling mencari teman, meski antar pengemudinya tidak saling kenal.Â
Kenapa harus mencari teman? Ini ada kaitannya dengan cerita di masa lalu ketika maraknya tindak kriminal seperti penodongan di malam hari di daerah yang sepi dan gelap. Konon, kalau ada kendaraan yang jalan sendiri, akan dipepet oleh beberapa motor dan perjalanan pun akan terhalang. Apalagi bila ada penumpang mobil yang kebelet dan menepi untuk buang air di pinggir jalan, atau ada mobil yang mengalami pecah ban di gelap malam, ini akan menjadi sasaran empuk para perampok.
Sekarang semakin jarang terdengar berita kriminal seperti itu. Tapi saya tetap waspada, makanya ikut menjadi bagian dari iring-iringan kalau lagi berjalan malam. Ada beberapa daerah yang sepi, meski bukan hutan lebat, tapi lebih seperti semak belukar, kebun karet atau sawit, seperti setelah meninggalkan Bukit Kemuning di perbatasan Lampung dengan Sumsel. Â Di Jambi juga terlihat sepi bila telah meninggalkan area perkotaan. Saya masih melihat di tengah malam ada saja anak muda pakai motor yang berhenti menghadap jalan sambil matanya seperti menyelidiki orang-orang yang ada di dalam mobil yang lewat.
Setelah melewati Sijunjung, kota pertama yang dilewati memasuki Provinsi Sumbar, jalanan mulai berliku, naik turun sesuai kontur tanah. Mobil tidak bisa berlari kencang. Untungnya mata dimanjakan dengan pemandangan khas pedesaan yang subur dan rumah gadang, rumah khas Minang, yang masih terpelihara di desa-desa tertentu.
Demikianlah, Â alhamdulillah hari Rabu (28/6) pagi, sekitar jam 10, saya akhirnya sampai di rumah kakak saya di Payakumbuh. Kami semua kelelahan, Â dan setelah berbasa-basi sebentar, langsung minta izin beristirahat. Baru sore dan malamnya acara berlebaran sekeluarga dengan makan dan mengobrol bersama, dapat terlaksana. Acara ini diwarnai dengan foto bersama yang merupakan gabungan dari lima keluarga, termasuk dua keluarga kakak saya yang sudah punya beberapa orang cucu.
Adapun bagi anak, keponakan, dan cucu, acara puncak adalah pembagian THR (ini istilah mereka yang sebetulnya istilah resmi untuk para karyawan atau buruh). Saya memang sudah menyiapkan uang kertas seri terbaru satu gepok yang diambil dari bank tempat saya menabung. Lengkap sudah kebahagiaan dalam berlebaran di kampung halaman.
Perjalanan darat dari Jakarta ke Payakumbuh, memang melelahkan, tapi tidak sampai membuat badan gempor. Saya sendiri sungguh menikmati perjalanan ini, meskipun anak-istri lebih sering memilih tidur sepanjang perjalanan. Saya berharap, kalau jalan tol antar kota di Sumatera telah terwujud, tentu akan lebih asyik lagi.
Tentang Payakumbuh sendiri sebetulnya punya obyek wisata unggulan yakni Lembah Harau dan Jembatan Kelok Sembilan. Tapi berwisata di saat lebaran tidaklah nyaman karena jalanan macet parah. Para perantau yang mudik, yang terlihat dari banyaknya mobil berplat nomor B (Jakarta), BK (Medan), BM (Riau), BG (Sumsel), dan sebagainya, tumplek blek di jalan.
Alhasil, niat semula untuk juga sekalian memperkenalkan obyek wisata ke anak-anak saya tidak kesampaian. Tapi nilai dari silaturahim yang terbina dengan sanak famili di kampung adalah sesuatu yang amat berharga. Ini yang harus saya tanamkan khususnya kepada anak-anak saya sendiri, agar mereka saling membina persaudaraan antara yang di rantau dengan yang di kampung, sampai nanti mereka dewasa dan juga membangun keluarga masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H