Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Mudik Jalan Darat Jakarta-Payakumbuh

7 Juli 2017   21:51 Diperbarui: 4 November 2020   12:54 5579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
macet ke lembah harau (dok pri)

Jalur barat relatif sempit jalannya, dan juga jarak antar kota berjauhan, sehingga dikhawatirkan sulit mencari tempat mengisi bahan bakar atau mencari rumah makan. Jalur timur sebetulnya jarak tempuhnya lebih pendek, tapi sayangnya kondisi jalan dari Palembang ke Jambi berdasarkan informasi yang saya dapatkan relatif jelek. Itulah makanya saya memilih jalur tengah, meski juga ada jalan yang banyak lubangnya di sekitar Baturaja dan di awal memasuki daerah Sumbar.

Mencari rumah makan juga relatif gampang di jalur tengah ini. Alhamdulillah, saya tidak mengalami "dipalak" saat beberapa kali makan di jalan. Harga yang dikenakan relatif wajar, tidak seperti pengalaman beberapa orang yang ditulis di medsos yang merasa ditagih berlebihan setelah makan di warung makan.

Perlu pula menyiapkan uang recehan Rp 2.000 yang banyak, tidak saja untuk sumbangan setelah menggunakan toilet di pom bensin atau masjid, juga untuk di beberapa titik, ada anak-anak semacam pak ogah di Jakarta yang menjaga agar kendaraan berjalan dengan pelan di area yang rawan longsor. Ada pula yang memasang "polisi tidur" di jalan agar mobil berjalan pelan di depan masjid yang ada petugasnya meminta sumbangan.

Memilih jalur tengah, meskipun lebih lancar perjalanannya, namun sepanjang jalan tidak banyak melewati obyek wisata. Berbeda bila kita lewat jalur barat, pemandangan pantai di banyak kota yang dilalui pasti akan menggoda. Namun demikian, karena banyaknya kota-kota yang dilewati di jalur tengah, lumayan mengasyikkan juga. 

Beberapa pemandangan sayang untuk dilewatkan selama di perjalanan. Pertama, selama berada di kapal ferry, sebaiknya turun dari mobil dan kitari semua pojok-pojok kapal untuk menikmati udara segar, lautan biru, pulau-pulau kecil, mercu suar, dan tentu saja kesibukan baik di dermaga Merak sebagai tempat keberangkatan, maupun di Bakauhuni sebagai tempat kedatangan.

Kedua, setiap memasuki suatu kota, meski ada jalur alternatif yang bisa menghindari keramaian kota untuk truk dan bus, saya sengaja memilih masuk kota. Ada keasyikan tersendiri melihat alun-alun kota, keramaian pasar, masjid raya, dan suasana kota lainnya. Toh, dari sebanyak kota yang dilewati, hanya Lubuk Linggau yang terbilang besar dan relatif macet, sehingga menambah waktu tempuh sekitar 30 menit.

Di sebuah kota kecil sebelum itu, Tebing Tinggi, saya tertarik menyaksikan becak motor serba guna yang banyak bersliweran. Becak ini bisa memuat orang, bisa juga memuat barang, yang ditempatkan di samping kiri pengemudi.

becak di Tebing tinggi
becak di Tebing tinggi
gunung di Lahat (dok pri)
gunung di Lahat (dok pri)
Menarik pula menyaksikan rumah panggung yang mendominasi rumah-rumah di sepanjang jalan raya, khususnya di Lampung dan Sumatrera Selatan. Pedagang buah dadakan di warung kecil  yang dibangun secara darurat juga gampang ditemui di sepanjang jalan mulai dari Baturaja sampai Lubuk Linggau. Di Baturaja sampai Muara Enim banyak pedagang durian, sedangkan di kota-kota berikutnya banyak pedagang pete, dan juga duku di Lubuk Linggau.

Di sepanjang jalur Baturaja - Muara Enim, jalan rayanya bersisian dengan sungai. Saya yang melewati daerah tersebut di pagi hari menemui hal yang unik, yakni dari rumah-rumah panggung tersebut terlihat para penghuninya berjalan, ada juga yang naik sepeda dan motor, menuju sungai sambil menenteng peralatan mandi dan menyandang handuk. Rupanya penduduk di sana masih memelihara budaya mandi di sungai, meski airnya tidak lagi bening. 

Tidak salah kalau Sumatera dijuluki sebagai "Bukit Barisan", karena memang sering terlihat jejeran gunung dan bukit. Di dekat Lahat, ada sebuah gunung yang unik karena puncaknya yang mirip kubah, lengkap dengan mirip menara di atas kubahnya. 

Satu-satunya pemandangan yang membuat "kotor" di banyak tempat adalah bertebarannya spanduk kampanye calon bupati. Hal ini ditemui hampir sepanjang perjalanan dalam radius yang berdekatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun