Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Safe Deposit Box, Tetap Bertahan di Era Dunia Maya

15 Agustus 2017   20:16 Diperbarui: 16 Agustus 2017   09:52 6923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencermati produk atau fasilitas yang ditawarkan bank pada nasabahnya, terlihat adanya perkembangan  yang amat pesat, sesuai dengan perkembangan teknologi. Jenis pelayanannya semakin bervariasi yang menyediakan banyak pilihan yang memanjakan nasabah. Gampang ditebak, layanan yang bersifat digital yang bisa dilakukan melalui internet, semakin disukai nasabah.

Tidak lagi dijumpai antrian panjang di depan tellerdi kantor bank. Tidak lagi banyak penabung yang memerlukan mencetak buku tabungannya. Tidak banyak lagi peredaran cek sebagai alat pembayaran antar para pedagang. Toh semuanya sekarang bisa dilakukan melaui layar sentuh di handphone nasabah.

Namun di tengah maraknya penetrasi transaksi dunia maya, ternyata masih ada produk bank zaman dahulu yang sampai sekarang masih bertahan, bahkan terbilang laris, meskipun produk ini menuntut nasabah harus datang secara fisik ke kantor bank. Produk dimaksud adalah safe deposit box (SDB), yakni kotak penyimpanan perhiasan atau surat berharga yang disewakan bank kepada nasabah. Untuk memindahkan barang yang disimpan dari rumah ke bank, tentu nasabah harus membawa langsung ke ruangan SDB di kantor bank, tak bisa dipindahkan secara elektronik seperti mentransfer uang dari suatu rekening ke rekening lain.

Artinya kebutuhan seseorang akan keamanan hartanya, dari dulu sampai sekarang tidak banyak berubah. Memang sudah ada kamera CCTV yang dipasang di banyak tempat, sudah ada berbagai jenis kunci rumah yang canggih, atau sistem alarmyang menyalak bila ada hal yang mencurigakan. Tapi hal yang berbau tradisional seperti penjagaan rumah oleh satpam atau orang yang ditugaskan untuk menunggu rumah, masih diperlukan. SDB-pun bisa dibilang sebagai produk tradisional atau produk konvensional bank.

Pada waktu mendekati lebaran akhir Juni yang lalu, beberapa kantor bank besar di Jakarta yang menyediakan lebih dari seribu kotak SDB, ternyata telah terisi penuh, sehingga bila ada nasabah baru yang ingin memakai SDB harus masuk daftar tunggu, menunggu kalau ada penyewa yang tidak memperpanjang masa sewanya.

SDB ada banyak ukurannya, dari yang seperti brankas sampai yang hanya bisa memuat dokumen se-ukuran setengah rim kertas folio. Mengingat sekarang semakin banyak surat berharga yang tidak lagi berwujud kertas seperti saham dan obligasi yang diperdagangkan di bursa saham, maka yang laku memang SDB berukuran kecil. Sertifikat kepemilikan tanah, ijazah, bilyet deposito, adalah beberapa contoh yang belum di-digital-kan, dan SDB menjadi pilihan untuk menyimpannya.

Seperti SDB yang tersedia di sebuah bank BUMN, ada 5 tipe dari yang terkecil berukuran 3x5x24 inchi sampai terbesar 15x10x24 inchi.  Harga sewanya dari yang terendah Rp 220.000 pertahun sampai yang tertinggi Rp 1.100.000 per tahun. Ada tambahan biaya jaminan kunci Rp 750.000, karena kalau kunci hilang atau rusak oleh nasabah, maka SDB akan dibuka paksa dengan mesin bor.

Jelaslah, meskipun perkembangan teknologi demikian dahsyat, sehingga ruang arsip di kantor-kantor tidak lagi berupa gudang pengap penuh rayap, karena sebahagian besar dokumen disimpan di dunia maya, namun tetap ada hal-hal yang tidak bisa di-dunia maya-kan. Sebagai contoh, cara membeli barang bisa saja secara online. Tapi barangnya secara fisik tetap harus ada, tidak bisa bersifat artifisial. Kalau lagi lapar, tidak mungkin seseorang akan kenyang dari gambar makanan yang dikirim via email. Tetap saja makanannya diantar, misalnya pakai ojek.

Demikian pula dengan bisnis penyewaan SDB. Barangkali ke depan, SDB akan tetap dibutuhkan masyarakat, meskipun yang laku adalah yang berukuran kecil. Show room dari banyak produk bisa saja beralih ke dunia maya, tapi barang yang diperdagangkan secara fisik tetap butuh gudang. Makanya perusahaan dagang online yang berkembang membutuhkan space gudang yang besar.

Yang ingin disampaikan melalui tulisan ini adalah, bagi yang berwirausaha, atau berstatus pekerja dari sebuah perusahaan yang memproduksi sebuah produk, harusnya tidak gampang mencari alasan sebuah usaha mati karena tergilas zaman, sebagai dalih kegagalan.

Belum tentu sebuah perusahaan bangkrut karena produk gagal. Produknya bisa jadi tetap dibutuhkan konsumen, tapi mungkin perlu dimodifikasi sesuai model mutakhir. Dan yang terpenting, cara beroperasi, cara berpromosi dan cara menjualnya harus fleksibel dengan mengakomodir cara yang paling efisien dan disukai banyak orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun