Tak pelak lagi, film nasional yang diputar  di banyak bioskop sejak tanggal 10 Mei lalu, dan diprediksi akan bertahan sampai beberapa minggu lagi, mendapat perhatian ramai dan mengaduk-aduk emosi penonton, adalah film yang berjudul Critical Eleven (seterusnya disingkat CE).
Banyak unsur yang menunjang keberhasilan CE. Kisahnya itu sendiri sudah sangat kuat karena diangkat dari novel best seller berjudul serupa karya Ika Natassa. Bintangnya juga aktor dan aktris yang sudah piawai, yang mampu dengan sangat baik menggambarkan perasaan, mimik wajah, dan gerak tubuh, tanpa perlu dialog berpanjang-panjang. Reza Rahadian, Adiani Wirasti, Widyawati dan Slamet Rahardjo, adalah nama besar yang membintangi film ini.
Ditambah lagi promosinya yang lumayan kreatif melalui media konvensional dan terutama melalui media di dunia maya yang sangat menggoda. Betapa tidak, dalam promosinya banyak potongan gambar kemesraan Reza dan Adiani, antara lain dengan latar belakang gemerlapnya kota New York.
Dan betul saja. Sepanjang 135 menit durasi CE, cukup sering muncul adegan kemesraan yang bisa dinilai overdosis jika dibandingkan rata-rata film nasional. Tapi kalau kiblatnya adalah film-film Hollywood, maka adegan tersebut tergolong wajar. Bisa jadi gunting Badan Sensor Film tidak begitu tajam lagi, sehingga rasa Hollywood itu kentara di film yang disutradarai duet Monty Tiwa dan Robert Ronny ini.
CE itu sendiri berasal dari istilah di dunia penerbangan, yang mengganggap sebelas menit masa kritis adalah selama tiga menit saat take off dan 8 menit saat landing. Inilah yang dianalogkan pada hubungan antar manusia. Kesan terhadap seseorang yang baru ditemui sangat tergantung pada interaksi di 3 menit awal perjumpaan dan 8 menit sebelum berpisah.
Begitulah, sepasang eksekutif muda, Ale (diperankan Reza) dan Anya (diperankan Adiani) dipertemukan saat terbang dari Jakarta ke Sydney. Kisah yang sederhana sebetulnya, bila mereka saling jatuh cinta dan berlanjut ke jenjang pernikahan.Â
Demi cintanya, Anya berkorban meninggalkan karirnya yang cemerlang sebagai konsultan finansial di Jakarta, pindah ke Manhattan, New York, ikut suami yang bekerja di lapangan minyak lepas pantai di Mexico. Jadi kalau Ale lagi bertugas beberapa minggu, Anya tinggal sendiri di apartemen.
Betapa romantisnya mereka berdua sungguh tergambar dengan sangat ekspresif, sehingga kisah sederhana jadi terlihat istimewa. Kemesraan tidak saja mereka perlihatkan saat berdua di dalam kamar, tapi juga di taman kota, di kereta api bawah tanah, dan bahkan melalui percakapan di dunia maya saat Ale lagi di ladang minyak.
Tapi akhirnya hubungan mereka memburuk demikian rupa karena saling menyalahkan. Pemicunya adalah kematian bayi yang dikandung Anya. Bagaimana perkawinan yang sudah di pinggir jurang, dapat terselematkan dan ditutup lagi dengan adegan yang super mesra, itulah yang mengaduk-aduk emosi penonton yang larut dalam tawa dan tangis.
CE memang berkisah tentang eksekutif muda yang sukses dan kaya. Jangan tanya apakah figur seperti dalam CE ada di dunia nyata di Jakarta? Jawabnya: ada, meski hanya dialami oleh segelintir orang. Sedangkan bagi mayoritas warga Indonesia, menjadi eksekutif sukses di usia muda tentu masih sebatas impian belaka. Makanya menonton CE paling tidak membantu masyarakat agar tetap "memelihara" mimpinya.
Secara logika ada juga sedikit tanda tanya. Ale digambarkan belum jadi bos di perusahaan minyak, karena ia bekerja penuh keringat di pengeboran minyak. Tapi kenapa mampu tinggal di apartemen kelas atas New York di daerah elit Manhattan. Padahal dari New York ke tempat kerja di Mexico juga jauh. Kenapa ayah Ale yang pensiunan militer hidup bergelimang kemewahan. Tapi biar bisa menikmati film, lupakan saja itu. Tak semua harus dilihat secara logika.