Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"5 Jangan" dalam Memperlakukan Uang Kertas Rupiah

7 Mei 2017   12:10 Diperbarui: 24 Juli 2017   13:27 4357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya dulu pernah punya teman satu kos-kosan yang berstatus pegawai negeri dan bertugas antara lain menertibkan lalu lintas. Kalau ia pulang kerja, saat membuka sepatu dinasnya, berhamburanlah uang kertas yang sudah diremas kecil-kecil. Lalu ia akan merapikan lembaran uang tersebut sambil menghitung berapa "pendapatan"-nya di hari itu.

Rupanya kalau ia ikut dalam tim razia kendaraan, banyak pengendara yang memberi salam tempel. Saat bersalaman tersebut, ada uang yang telah diremas berpindah tangan, dan seterusnya masuk ke saku teman saya. Bila saku udah penuh, ia akan menepi sebentar untuk memindahkan uang ke dalam sepatunya. 

Cerita tentang teman saya di atas yang terjadi sekitar 30 tahun yang lalu, otomatis terbayang di benak saya saat saya membaca sosialisasi dari Bank Indonesia tentang bagaimana sebaiknya kita memperlakukan uang kertas. Dalam hal ini masyarakat diminta melakukan "5 jangan", yakni uang kertas jangan dicoret, jangan distapler, jangan diremas, jangan dibasahi dan jangan dilipat.

Bank Indonesia juga menyampaikan bahwa uang rupiah adalah salah satu simbol negara yang harus dijaga kehormatannya di mata dunia. Untuk itu masyarakat diminta merubah kebiasaannya dalam menggunakan uang dengan melakukan "5 jangan" tersebut di atas.

Harus diakui, sebahagian masyarakat kita memang serampangan sekali dan terkesan menganggap enteng uang rupiah. Padahal kalau lagi memiliki uang kertas yang diterbitkan oleh bank sentral negara asing, khususnya berupa US Dollar, maka tanpa diminta langsung dieman-eman, dengan menerapkan "5 jangan" di atas, sehingga dollar-nya rapi jali seperti habis disetrika.

Kenapa kita kurang menghargai rupiah? Apakah karena daya belinya yang cenderung terus menurun tergerus inflasi? Atau karena memang pada dasarnya kita suka memandang rendah apapun produk dalam negeri, termasuk uangnya. Tentu untuk menjawab hal ini perlu penelitian secara ilmiah agar hasilnya bisa dipertanggungjawabkan.

Yang jelas begitulah faktanya, sehingga Bank Indonesia merasa perlu melakukan sosialisasi dalam berbagai bentuk. Salah satunya, seperti yang saya dapati dan menggerakkan saya buat menulis artikel ini, berupa iklan satu halaman penuh di koran ibukota yang diedarkan secara nasional. 

Uang yang dicoret, distapler, diremas dan dilipat, bisa dikatakan sebagai sebuah tindakan yang disengaja, tidak sekadar iseng. Biasanya sambil menghitung uang, setiap 10 lembar langsung distapler dan ditulis angka tertentu mungkin kode untuk apa uang tersebut akan digunakan. 

Kalau diremas dan dilipat ya antara lain agar lebih mudah untuk memberikan salam tempel seperti kisah teman saya di atas. Bisa juga agar lebih mudah masuk saku karena lagi tidak membawa dompet. Tapi kalau dibasahi, sering karena tidak sengaja. Biasanya karena diremas dan masuk saku, uang tersebut tanpa sadar ikut tercuci di mesin cuci, dan baru ketahuan saat menjemur pakaian.

Jangan dikira perilaku yang tidak menghargai uang tersebut hanya menjadi kebiasaan orang kaya karena sudah kelebihan uang. Justru di kalangan masyarakat bawah, yang harusnya menyadari betapa susahnya mengumpulkan lembar demi lembar uang, meski yang bernominal kecil sekalipun, perilaku negatif ini sudah terlihat seperti "penyakit".

Lihatlah bagaimana pedagang kecil, tukang ojek, sopir atau kenek angkot memperlakukan uang. Sering uang tersebut digumpal seenaknya dan disimpan di kantong kresek. Makanya jangan bilang sombong pada kasir di bank yang menolak setoran dari pedagang kecil. Soalnya uangnya belum dirapikan, sehingga tidak bisa dihitung di mesin penghitung uang. Kalau teller bank ikut merapikan dulu, akan menganggu pelayanan bagi nasabah lain yang sudah antre menunggu.

Betapa kontrasnya, kalangan bawah masih membanting tulang mencari uang yang kucel, lecet, bau, dan mengandung kuman, tapi di lain pihak, sebahagian kalangan atas sudah mulai tidak kenal uang kertas lagi, karena sudah menggunakan uang elektronik. 

Siapapun juga kita, tanpa memandang status sosial, selayaknyalah menghormati uang. Bukan dalam arti "disembah" atau menjadikan uang sebagai tujuan dari kehidupan, sampai memecah belah persaudaraan. Tapi menyimpan dan menggunakannya secara baik dan wajar. Mau uang pecahan besar atau pecahan kecil, harus diperlakukan sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun