Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berani Menyampaikan Pendapat dalam Bingkai Tata Krama Birokrasi

23 Januari 2018   10:27 Diperbarui: 23 Januari 2018   23:20 1605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konon, salah satu kelemahan orang Indonesia adalah kurang berani menyampaikan pendapat, apalagi kalau berbeda pendapat dengan pihak yang lebih tinggi kedudukannya atau berbeda dengan pendapat kelompok mayoritas. Makanya, di banyak perusahaan di negara kita, para staf lebih sering menerima begitu saja apa yang dikatakan atasannya.

Dengan kondisi seperti itu, banyak perusahaan yang lebih suka minta bantuan kepada pihak konsultan untuk menyusun perencanaan jangka panjang atau hal lain yang bersifat strategis. Bahkan bila anggaran mencukupi, perusahaan tidak ragu membayar mahal pada konsultan asing yang sudah punya nama besar.

Padahal konsultan manapun juga, ketika menerima penugasan dari sebuah perusahaan, sebetulnya juga belajar dulu kepada staf yang orang dalam perusahaan,  dengan dalih mengadakan focus group discussion. Jadi, rekomendasi yang dipresentasikan konsultan, bisa jadi gabungan dari pendapat orang dalam juga dengan modifikasi seperlunya. 

Namun bila misalnya rekomendasi yang sama muncul dari staf internal perusahaan, belum tentu bisa diterima oleh bos-bos di perusahaan tersebut. Ada semacam under estimate dari atasan terhadap kemampuan bawahannya. Makanya staf jadi malas ngomong, mending membebek saja. 

Anehnya, kalau orang kita bekerja di perusahaan asing, termasuk perusahaan asing yang membuka cabang di Indonesia, mereka terlatih bersikap berani. Masalahnya kondisi atau budaya kerja di perusahaan tersebut menuntut mereka untuk bersikap seperti itu. 

Begitu mereka dibajak oleh perusahaan lokal, akan terlihat bahwa eks pekerja perusahaan asing lebih berani dalam menyampaikan pendapat. Tapi lama-lama, yang eks pekerja perusahaan asing tersebut akan menyadari bahwa ada pakem yang tidak bisa mereka abaikan, yakni keberanian berpendapat itu harus dalam bingkai tata krama birokrasi.  Berbicara ke atasan sangat berbeda "seni"-nya dibanding ke rekan yang setaragrade-nya. Sedangkan kalau ke bawahan bolehlah memakai style masing-masing.

Memang budaya untuk tidak banyak berbicara, kalau ditelusuri lebih jauh, telah tertanam sejak di bangku sekolah. Anak-anak kita dididik dengan memberi porsi yang banyak pada hafalan, bukan mengasah argumentasi. Anak yang patuh lebih disukai guru ketimbang anak yang kreatif yang terkesan banyak ulah.

Budaya ini berlanjut pada bangku kuliah. Ketika dosen menantang mahasiswanya untuk mengajukan pertanyaan atau komentar yang bersifat spontan, amat jarang ada tanggapan. Kecuali kalau masing-masing mahasiswa diwajibkan memberikan tanggapan karena akan berpengaruh pada nilai mata kuliah, baru mahasiswa terpacu untuk menyampaikan pendapat.

Kebiasaan tersebut terbawa saat mulai bekerja. Saat rapat formal, peserta rapat lebih banyak mendengar pengarahan dari pimpinan saja. Jarang sekali yang berinisiatif menyampaikan tanggapan, kecuali bila pimpinan rapat menunjuk nama tertentu untuk berbicara.

Memang dalam dunia kerja, yang paling penting tentu saja keberhasilan dalam melaksanakan tugas, yang lazimnya tergambar dari tercapai atau terlampauinya target yang diberikan atasan. Tapi semakin tinggi jabatan, tidak cukup sekadar mencapai target saja, namun perlu dibarengi dengan kemampuan berkomunikasi.

Kemampuan berkomunikasi tersebut antara lain terlihat dari keberanian menyampaikan pertanyaan atau tanggapan di forum yang bersifat formal. Termasuk pula kemampuan dalam menyampaikan ide kreatif atau solusi dari suatu masalah.

Jelaslah dalam berkarir sebagai orang kantoran di negara kita, indeks prestasi yang tinggi di bangku kuliah diperlukan hanya untuk memenuhi salah satu persyaratan saat seleksi penerimaan pegawai. Setelah itu, kreativitaslah yang lebih diperlukan, yang antara lain ditunjukkan dalam keberanian menyampaikan pendapat. 

Namun karena kita adalah bangsa yang penuh tata krama, maka pendapat tersebut tetap dikemukan secara santun, tidak terkesan sombong atau tidak terkesan menentang atasan atau rekan kerja lain. Citra sebagai bawahan yang patuh, loyal dan njawani,perlu dibentuk agar disukai atasan. Patuh yang tidak pasif, dengan berani berbicara di forum rapat yang sifatnya mendukung dan menyempurnakan arahan dari atas.

Tapi ada kabar gembira bagi yang merasa kurang nyaman dengan tata krama birokrasi. Dengan mulai bertumbuhnya perusahaan start up(rintisan), yang akhirnya jadi perusahaan raksasa, seperti Go Jek, Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, dan sebagainya, yang lebih egaliter, telah terlihat arah budaya kerja ke depan, yang murni lebih mengemukakan faktor kreativitas dan meminimalkan soal tata krama yang  kaku dalam hubungan atasan-bawahan.

Budaya egaliter tersebut, perlahan tapi pasti, mulai memasuki kantor-kantor perusahaan yang telah lama berdiri, seiring dengan makin banyaknya pegawai lama yang pensiun, dan digantikan oleh generasi milenial yang membawa budaya kerja baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun