"Alhamdulillah, saya dapat bos yang baik banget, ramah dan gak pernah marah", atau "Bos gue nyebelin banget, dikit-dikit marah," adalah kata-kata yang sering terucap, kalau sesama pegawai pada ngumpul. Memang, selagi masih menjadi anak buah, selalu saja ada suka duka karena perlakuan atasan. Makanya kalau ingin bebas, tidak diatur-atur oleh orang lain, jangan jadi anak buah, tapi jadilah bos.Â
Tapi dalam birokrasi di kantor, relatif sulit untuk jadi seorang bos besar, katakanlah yang berpredikat sebagai direktur utama. Seorang kepala seksi, memang punya anak buah, tapi juga punya bos seorang kepala bagian yang membawahi beberapa seksi. Jadi boleh dikatakan, kecuali direktur utama, semua orang di sebuah perusahaan pasti punya bos.
Maka kalau seseorang merasa tidak mungkin menjadi direktur utama di tempatnya bekerja, silakan hengkang dan bikin usaha sendiri. Kalau buka usaha sendiri juga tidak mungkin, maka tidak ada pilihan lain, harus tahan banting dan super sabar bila dimarahin bos, sambil mencoba-coba trik agar besok tidak dimarahi lagi.
Nah, untuk itu ada baiknya terlebih dahulu mengenal bagaimana pola marah seorang bos. Pada dasarnya marah itu manusiawi, artinya tidak ada bos yang tidak pernah marah. Hanya saja mungkin ekspresi kemarahannya yang tidak terbaca oleh anak buah. Dalam hal ini dituntut kepekaan anak buah dengan mengamati gerak tubuh, mimik, atau air muka si bos, agar bisa waspada bila ternyata diam-diam bos marah.
Bila si bos yang gak pernah marah itu tadi, karena tidak pekanya anak buah sehingga berkali-kali melakukan kesalahan yang sama, pasti pada suatu kondisi ekstrim sudah tidak dapat lagi menerima situasi seperti itu. Â Saat si bos sudah pada puncak kekesalannya biasanya ia sendiri memanggil anak buahnya yang bikin masalah, dan ia mengungkapkan kemarahannya dengan nada bergetar (karena ia tidak terbiasa marah). Sangat mungkin bagi bos yang jarang marah, sekalinya ia marah akan lama sembuhnya.
Oke, anggap saja memang ada bos yang bisa menahan emosi sehingga tidak pernah secara verbal memperlihatkan kemarahannya. Justru semua anak buahnya harus lebih peka lagi. Bila si bos jarang meminta pendapat, atau dalam menilai kinerja memberikan skor yang cukup saja, perlu ditelusuri, apakah ada tindakan yang membuat bos kesal?Â
Kalau anak buah masih tidak peka dan tidak memperbaiki diri, bisa jadi setelah itu si bos akan berusaha memutasikan anak buah yang dinilainya banyak ulah ke bagian lain. Kalaupun tidak dimutasi, si anak buah akan dicuekin, dan selama si bos masih menjadi atasannya, si anak buah yang seperti itu tipis harapan untuk naik pangkat.
Adakalanya suasana kerja di bawah kepemimpinan bos yang selalu ramah dalam situasi apapun, tidak kondusif bagi yang berkinerja baik. Pegawai yang rajin merasa bos terlalu lembek pada pegawai yang nakal. Justru kerjaan banyak dilimpahkan kepada pegawai yang baik, sehingga beban kerja menjadi tidak berimbang. Tapi ketahuilah, bila pegawai yang baik mampu menahan emosinya, tetap mendapat reward berupa skor penilaian kinerja yang lebih tinggi yang nantinya berimbas pada percepatan promosi jabatan dan bonus yang lebih besar.
Nah, bagaimana dengan bos yang gampang marah? Bagi pegawai yang belum terbiasa dimarahin, pastilah shock pada awalnya. Tapi banyak juga lho bos pemarah yang baik hati. Maksudnya, bos yang beginian gampang marah tapi gampang baik lagi. Bahkan ada yang seperti mengkompensasi kemarahannya dengan mentraktir yang dimarahi. Akibatnya anak buah malah jadi tidak takut dimarahi, malah ada yang berharap.
Yang nyebelin tentu saja yang sangat gampang marah, bahkan tanpa anak buah tahu apa kesalahan yang ia perbuat. Mungkin hanya karena dianggap kurang unggah-ungguh saat lewat di depan bos, atau hal-hal remeh temeh lainnya. Sudah begitu, si bos sangat gampang mencaci dengan menyebut nama penghuni kebon binatang saat marah-marah. Â Si bos seperti hobi marah dan bersifat permanen. Biasanya para anak buah berdoa agar si bos cepat digantikan dengan bos baru. Bahkan ada yang urunan untuk potong kambing begitu si bos pindah.
Menghadapi bos seperti itu, tidak ada jalan lain selain sabar, selalu bekerja dengan sepenuh hati, di samping berdoa. Ada baiknya bila bos lagi tidak marah, seorang anak buah yang berani datang menghadap bos ke ruangannya sambil menyerahkan hasil kerjaan, lalu pas mau pamit, sedikit curhat menenyakan ke si bos kok beliau gampang marah. Sampaikan juga bahwa semua anak buah pada ketakutan sehingga bekerja dalam suasana tegang.
Tapi syukurlah, cerita tentang bos yang marah-marah, lebih banyak terjadi di perkantoran era sebelum tahun 2000, saat budaya feodal masih jadi panutan para bos. Pada era generasi milenial saat ini, para lulusan S-1 yang bekerja di banyak perusahaan besar, baik swasta maupun milik negara, mendapatkan suasana kerja yang lebih baik.Â
Mungkin karena yang jadi bos sekarang adalah yang dulu di awal merintis karirnya telah merasakan dampak negatif tingkah laku bos yang pemarah, dan mereka tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Mungkin juga karena iklim politik sekarang yang lebih demokratis ketimbang zaman dulu. Di lain pihak anak muda zaman now juga lebih berani dalam berpendapat termasuk pada bosnya sekalipun. Â Seorang staf sangat gampang mengajukan resign hanya karena tidak cocok dengan atasan.Â
Bahkan dari banyak survey kepada para mahasiswa, trend untuk berwirausaha, termasuk mendirikan usaha rintisan atau start up, mulai meningkat. Meskipun begitu, setiap ada job fair, antrian pelamar masih mengular panjang. Nah, bagi yang berniat jadi orang yang makan gaji, tak ada salahnya mempelajari cara-cara berinteraksi dengan bos. How to manage your boss, itu ada ilmunya lho.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H