Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Buruk Muka, Cermin Dibelah

9 Februari 2017   20:34 Diperbarui: 9 Februari 2017   21:54 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Judul di atas diambil dari pepatah lama yang langsung terlintas di benak saya sewaktu menonton berita di televisi tentang seseorang yang membakar mobilnya sendiri. Ceritanya mobil tersebut lagi parkir di tempat yang salah dan kepergok petugas. Pemilik mobil sangat emosi begitu mobil itu mau diderek, dan mengambil tindakan yang demikian ekstrim yakni membakar mobil.

Kisah itu mirip dengan orang yang memecahkan kaca televisi saat tim jagoannya kalah bertanding sehabis menonton laga yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Atau sama juga dengan orang yang membakar gudang karena banyak tikus di dalam gudang. 

Mobil, televisi, dan gudang, tidak punya salah apa-apa. Tapi orang yang saking meluap emosinya, bisa kalap dan bertindak di luar akal sehat. Dalam kasus salah parkir, tentu yang salah adalah manusia di belakang setir mobil. Mungkin tindakan petugas langsung menderek, dianggap pemilik mobil terlalu berlebihan. Tapi caranya memprotes justru lebih berlebihan lagi.

Awalnya, saat membakar mobil barangkali ada kepuasan bagi pelaku karena bisa melampiaskan kemarahan. Bahkan terkesan ingin unjuk gigi dengan memperlihatkan bahwa bagi ia kehilangan mobil gak apa-apa. Namun setelah pikiran jernih muncul, sangat mungkin ada penyesalan yang dalam, di samping rasa malu.

Mobil termasuk benda mati yang tidak punya perasaan. Kalau yang menjadi sasaran kemarahan adalah manusia, tentu akan ada tindakan balasan. Jangankan dibakar atau dipukul, sekadar dimaki-makipun terasa amat menyakitkan, dan memancing yang dimaki untuk melawan balik.

Bahwa ada kejadian langka beberapa bulan sebelumnya, mungkin termasuk pengecualian. Saat itu ada seorang ibu yang gak terima ditilang polisi. Lalu si ibu memaki-maki dan memukul polisi. Namun sang polisi mampu bersikap sabar, tidak balas memaki. Polisi tersebut akhirnya dapat penghargaan dari atasannya, di samping menuai banyak pujian dari masyarakat yang menonton rekamannya yang diunggah di media sosial.

Tindakan fatal yang dilakukan seseorang saat emosi yang tak terkendali, bisa terjadi di mana saja. Di luar negeri pun kondisinya sama saja. Berikut ini ada dua berita yang relatif baru terjadi.

Berita pertama, dari Kompas (7/2), tentang seorang pria di Sichuan, Tiongkok, yang amat jengkel karena seekor kecoa masuk ke dalam telinganya saat dia sedang tidur. Lalu pria tersebut menyemprotkan pestisida ke dalam telinganya. Kecoanya memang mati, tapi tak bisa dikeluarkan karena telinganya bengkak akibat cairan pestisida. Tiga hari pria itu menderita sebelum dokter di Rumah Sakit Chengdu berhasil mengeluarkan bangkai kecoa.

Berita kedua, Kompas (8/2) memberitakan tindakan pemain tenis Kanada, Denis Shapovalov, yang karena emosi yang berlebihan, bola yang dipukulnya mengenai mata kiri wasit Arnaud Gabas. Akibatnya Shapavalov dihukum denda 7.000 dollar AS atau sekitar Rp 93 juta, dan didiskualifikasi dari pertandingan melawan petenis Inggris.

Idealnya jika kita mendadak menemukan hal yang menjengkelkan, tetap mampu bersikap tenang. Tapi ini sangat tidak gampang, apalagi kalau hal tersebut berkaitan dengan perlakuan yang kita terima dari orang lain. Sedangkan kita merasa di pihak yang benar alias tidak punya salah apa-apa.

Namun sebetulnya kemampuan mengendalikan emosi dapat dilatih. Bagi yang dari kecil sudah dibiasakan bersikap dengan tenang dan santun di rumahnya, kemungkinan besar sampai dewasa mampu memeliharanya. Tapi kalau orang tua mendidik anak dengan cara berteriak dan marah-marah, maka cara ini ditiru oleh anak.

Masyarakat pedesaan terkenal sebagai masyarakat yang hidup harmonis, penuh sopan santun, dan saling bertegur sapa, meskipun dengan orang yang tidak dikenal yang datang ke desanya.

Tapi begitu mereka merantau ke kota besar, sebahagian orang asal pedesaan ada yang berubah perangainya. Bisa jadi yang model begini terjadi karena menerima nasehat yang menjerumuskan. Misalnya nasehat agar di kota kita harus berani keras karena masalahnya kalau gak kita yang "memakan" duluan, maka kita yang akan "dimakan".

Tampaknya kisah-kisah "buruk muka cermin dibelah" di atas, akan semakin sering terjadi. Lalu, ketika hal tersebut sudah menjadi kejadian rutin, tidak lagi diberitakan media. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun