Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gratifikasi: Kasus Anambas dan Kasus Garuda

21 Februari 2017   07:53 Diperbarui: 21 Februari 2017   08:34 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompas (3/2) menurunkan berita, yang meskipun tidak bergaung di level nasional, namun bagi kalangan pejabat pemerintah dan kalangan perusahaan keuangan seperti bank dan asuransi, perlu mendapat perhatian.

Berita dimaksud menyangkut kasus yang menimpa Bupati Anambas, Kepulauan Riau. Pak Bupati menjadi tersangka setelah Pemkab Anambas menempatkan dana berupa deposito dan giro sebesar Rp 120 miliar di Bank Syariah Mandiri (BSM) Tanjung Pinang.

Atas penempatan dana tersebut, BSM memberikan imbalan 25 buah motor dan 2 buah mobil. Masalahnya, motor dan mobil itu tidak dicatat sebagai aset Pemkab, malah dijual secara pribadi.

Sekadar catatan, Anambas adalah kepulauan di sebelah utara di Provinsi Kepulauan Riau, dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Natuna. Letaknya di laut lepas Laut Cina Selatan, dan lebih dekat ke negara Malaysia dan Vietnam.

Terlepas dari kasus tersebut, sebetulnya bagi bank dan juga asuransi, lazim memberikan hadiah sebagai daya tarik bagi nasabahnya yang menempatkan dana. Hadiah tersebut menjadi komponen biaya promosi bagi bank atau asuransi tersebut.

Sekiranya yang dapat hadiah tersebut adalah nasabah individu, tentu tidak ada masalah bagi penerima. Namun kalau penerima hadiah adalah institusi, apalagi institusi pemerintah, masalahnya jadi tidak gampang, dan adakalanya luput dari perhatian bank. Bank seolah-olah sudah selesai tugasnya begitu hadiah diserahkan.

Padahal di situlah awal musibah, bila seorang pejabat yang bertindak atas nama institusi menerima hadiah, harusnya hadiah itu menjadi milik institusi. Namun pastilah godaannya besar sekali, karena bisa saja si pejabat merasa hal tersebut sebagai hasil nego, dan merasa pihak bank memang bermaksud memberikan si pejabat secara pribadi.

Apalagi kalau selama ini si pejabat juga sering ditraktir main golf oleh pihak bank. Nah apa bedanya, kalau main golf dibolehkan, tentu juga bila sesekali golf-nya diganti dengan barang, si pejabat merasa sah-sah saja untuk menerima.

Nah, dalam hal ini dituntut semacam penjelasan dari pihak pemberi hadiah, bagaimana "hitam di atas putih"-nya. Maksudnya agar ada transparansi dan akuntabilitas bagi kedua belah pihak. Pihak bank dituntut kerjasamanya untuk menjelaskan bahwa yang diberi hadiah adalah institusi, karena dana yang ditempatkan di bank juga dana institusi.

Persyaratan pemberian hadiah pun harus diumumkan bank secara terbuka dalam promosinya, sehingga perlakuannya sama bagi setiap nasabah. Baik pejabat pemerintah maupun petani yang lagi punya uang sehabis panen raya, dengan asumsi sama-sama memasukkan dana dalam jumlah yang sama ke sebuah bank, akan dapat hadiah yang juga sama.

Motor dan mobil, mungkin bisa dinilai relatif kecil. Namun dalam hal penerimaan gratifikasi, kecil besar, tetap dinilai bersalah. Kasus gratifikasi yang berskala besar, yang saat ini tengah disidik KPK adalah kasus yang melilit mantan Direktur Utama Garuda, maskapai penerbangan milik negara.

Jumlah yang diterima sang mantan Dirut konon puluhan milyar rupiah, sebagai hadiah atas keputusannya untuk membeli sejumlah pesawat dengan mesin bermerek tertentu. Jelaslah bahwa kasus gratifikasi sudah begitu masif, dari pelosok Anambas sampai yang berskala internasional yang menimpa Garuda.

Masihkah belum cukup pelajaran bagi para pejabat dalam berhubungan dengan pihak korporasi? Kedua belah pihak harus sama-sama menerapkan tata kelola yang baik, tak bisa kalau hanya dari satu pihak saja.

Prosedur pembelian  harus jelas dan dipatuhi oleh pembeli. Prosedur penjualan pun begitu dari sisi penjual. Dalam penempatan dana di bank, prosedurnya baik bagi nasabah maupun bank harus jelas, termasuk prosedur pemberian hadiah resmi.

Kalau prosedur sudah tertata rapi, maka tinggal mental aparatnya yang harus berubah, harus lebih berdisiplin, baik ketika diawasi, maupun ketika tidak diawasi. Maksudnya, disiplin tersebut harus dijadikan sikap dan kebiasaan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun