Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dompet Amal dan Akuntabilitasnya

6 Februari 2017   20:27 Diperbarui: 7 Februari 2017   22:53 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena diduga terlibat dalam kasus penganiayaan anak, Pemilik Panti Asuhan Tunas Bangsa Kota Pekanbaru, ditetapkan sebagai tersangka. Seperti yang diberitakan Kompas (Rabu, 1/2), seluruh kegiatan panti telah dihentikan. 17 orang anak penghuni panti dievakuasi Unit Perlindungan Anak Polres Pekanbaru bersama Dinas Sosial Riau dan Lembaga Perlindungan Anak Riau.

Kondisi panti tersebut sangat tidak layak huni. Tapi tidak dijelaskan apakah hal tersebut karena ketiadaan dana atau karena sebab lain. Tulisan ini tidak bermaksud mengangkat kasus di atas. Namun secara umum sekarang ini hal-hal yang bersifat sosial atau keagamaan bisa saja menjadi "bisnis".

Maksudnya dengan menggugah belas kasihan dari orang lain, atau dengan maksud mempermudah orang lain untuk beramal, ada pihak lain yang diduga menikmati keuntungan. Mereka bisa mendompleng ikut memakai dana sumbangan atau dana amal, padahal niat si pemberi dana adalah untuk orang yang berhak seperti anak yatim penghuni panti asuhan.

Pada kasus lain, banyak pula terdengar anak-anak yang diculik, bayi yang dijual, dengan tujuan untuk dieksploitasi. Bayi yang dibawa oleh perempuan dewasa saat meminta-minta di jalanan, konon bisa disewa dari para pemasoknya. Semakin terlihat menderita si anak, justru semakin besar sewanya.

Sekarang ini cara-cara mengumpulkan sumbangan malah terlihat semakin beragam dan semakin kreatif. Apalagi dengan teknologi informasi yang  berkembang pesat, tersedia banyak wadah untuk beramal.

Di sebuah jaringan pasar swalayan besar di Jakarta, ada ibu-ibu yang mencegat pelanggan yang baru selesai membayar belanjaan di kasir, sambil membagikan brosur sumbangan buat sebuah yayasan yang menaungi sebuah panti asuhan. Jika ada yang tertarik menyumbang, petugas tersebut menyiapkan kwitansi sebagai bukti penerimaan uang.

Namun tentu saja si penyumbang percaya begitu saja bahwa sumbangannya akan digunakan sesuai yang ditulis di brosur, karena tidak gampang juga meminta bukti penggunaan dana kepada pengurus yayasan. Sikap "percaya begitu saja" inilah yang berpotensi disalahgunakan oknum yayasan.

Di grup medsos ada banyak sekali cerita tentang derita orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan ditutup dengan kalimat yang mengetuk hati pembaca agar sudi meringankan beban orang yang diceritakan tersebut dengan mengirimkan uang ke rekening tertentu.

Jadi kalau dahulu banyak media cetak yang memberitakan bencana alam atau seseorang yang menderita sakit parah, lalu mengkoordinir dompet amal, maka fungsi seperti itu sekarang telah diambil alih oleh kelompok-kelompok di medsos.

Dompet amal tersebut, oleh seorang rekan yang berasal dari Padang disebutnya "katidiang". Dalam versi aslinya katidiang adalah semacam bakul dari bambu yang di samping fungsinya sebagai tempat menaruh barang kebutuhan dapur, juga lazim digunakan untuk minta sumbangan di masjid atau di lapangan saat shalat ied. Ada petugas yang berkeliling membawa katidiang dan menyodorkan ke setiap jamaah.

Sekarang dengan katidiang versi dunia maya yang jauh lebih dahsyat daya jelajahnya, dalam waktu sehari-dua hari, uang puluhan juta rupiah terkumpul untuk membantu seseorang yang sakit keras, membantu pembangunan asrama yatim piatu atau masjid, membantu korban bencana alam, dan sebagainya.

Rasa-rasanya sebahagian besar panitia dompet amal melalui dunia maya memang bertujuan positif. Hanya saja tetap perlu kewaspadaan. Pembajakan akun Facebook seseorang yang dipakai untuk minta sumbangan atau minta tolong pinjam duit ke teman-teman medsos, pernah marak terjadi. Untuk itu, proses meneliti dulu sebelum menyumbang, tetap diperlukan. Kalau di dunia nyata, ada orang yang pura-pura cacat yang jadi kaya dari mengemis, di dunia maya pun bisa saja terjadi.

Memang orang kita gampang tergugah, dan di pihak lain ada yang keenakan terus menerus mengarang cerita sedih, agar dapat sumbangan. Atau cerita yang sama tapi "dijual" berkali-kali ke teman yang berbeda. 

Kesimpulannya, masalah dompet amal bukan terletak pada sulitnya mengumpulkan dana, tapi justru pada masalah akuntabilitas penyelenggaraannya. Untuk itu, sangat diharapkan adanya pengawasan dari pemerintah melalui instansi yang berkaitan, yang bisa berjalan dengan baik.

Di samping itu, beberapa yayasan yang sudah terkenal mampu bersikap profesinal dengan akuntabilitas yang terpelihara, diharapkan mau memberikan pelatihan kepada banyak yayasan-yayasan kecil yang tersebar di berbagai pelosok.

Bagaimana melaksanakan program secara efektif dan melaporkan pertanggungjawabannya kepada publik, menjadi salah satu materi pelatihan yang utama. Jangan hanya cara menggali dana saja yang dikuasai.

Yayasan yang besar janganlah terkesan ingin "memonopoli" dengan menguasai "pasar" amal dengan gencar berpromosi dan membuka cabang di banyak tempat. Justru dengan pendekatan kemitraaan atau berkolaborasi dengan yayasan lokal, akan mempercepat tersebarnya dompet amal yang akuntabel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun