Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pilih Turun Sendiri atau Diturunkan?

11 Februari 2017   19:39 Diperbarui: 12 Februari 2017   11:19 1406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Sering sekali para motivator mengatakan agar sesorang jangan terjebak di comfort zone atau zona nyaman. Maksudnya agar seseorang tidak manja, gampang menyerah, padahal kalau dilatih, potensi atau kapasitasnya luar biasa.

Teman saya, sebut saja namanya Andi, saat akan memasuki pensiun sebagai pemimpin divisi di sebuah bank milik negara, mendapat tawaran untuk jadi direktur utama di sebuah bank milik pemerintah daerah. Andi tanpa ragu menolak tawaran tersebut karena ingin mengisi masa pensiunnya dengan pekerjaan yang bersifat part-time, seperti jadi dosen tidak tetap.

Pilihan Andi tersebut disayangkan oleh banyak temannya yang tahu bahwa Andi sebetulnya punya kemampuan dan masih terbuka peluang untuk naik kariernya. Andi dikomentari sebagai terlena di zona nyaman oleh temannya  dan tidak berani mencoba tantangan.

Saya bisa memahami bahwa Andi bukan tidak suka tantangan. Hanya passion-nya memang bukan di bank. Andi lebih suka mengajar karena kecintaannya pada ilmu pengetahuan. Bahwa dulu nasib membawanya jadi staf bank, dan bisa bertahan selama 30 tahun, dengan puncak karier sebagai pemimpin divisi, adalah sesuatu yang disyukurinya, tapi tidak ingin ia perpanjang lagi.

Andi bersyukur karena tidak mengalami hal yang jelek seperti beberapa temannya yang sampai masuk penjara. Ada juga yang tidak ditahan, tapi capek bolak balik ke kejaksaan. Di bank negara ada banyak hal sensitif, seperti karena gara-gara nasabah tidak mengembalikan kredit, dan ini berarti merugikan bank. Karena banknya milik negara maka sekaligus berarti merugikan negara, dan itu berarti tindak pidana korupsi, bila terbukti ada unsur ketidak hati-hatian sewaktu mengucurkan kredit.

Namun di sisi lain, tentu banyak hal yang gemerlap. Orang bank, di negara kita terbilang harum namanya. Apalagi seperti yang dialami teman Andi yang bernasib baik dan memang "jiwa"-nya ada di perbankan, sukses meniti karier sampai posisi puncak. Sang teman sangat dihormati oleh berbagai kalangan, sering nongol di koran dan televisi. Tapi sisi ini tidak menggiurkan buat Andi. Bagi Andi, cukup sudah 30 tahun jadi orang bank.

Untuk mereka yang meniti karier di pemerintahan atau pun sebagai profesional di perusahaan, memang penting untuk bisa menentukan kapan harus bilang enough is enough.Salah menentukan waktu turun, bisa berakibat sangat fatal.

Bayangkan kalau Soeharto di tahun 1993 mau turun, tidak lagi menjadi Presiden, tentu akan dikenang dengan sangat manis. Bahasa religinya husnul khotimah. Namun seperti yang tertulis dalam sejarah, Presiden yang terlama berkuasa sepanjang sejarah Republik Indonesia tersebut, akhirnya didesak massa buat berhenti di tahun 1998.

"Turunlah saat di puncak kesuksesan dan telah punya kader pengganti", dapat disebut sebagai rumus terbaik. Masalahnya bagi seorang "pendaki",  betapapun di mata publik ia telah sukses, ia merasa masih bernafsu mencapai puncak yang lebih tinggi lagi. Jadi tidak gampang juga untuk mengatakan bahwa seseorang telah berada di puncak kejayaannya.

Sebagai contoh paling aktual, kita lihat perjalanan karier Direktur Utama Pertamina yang minggu lalu baru dicopot, Dwi Soetjipto. Beliau beberapa kali dapat gelar CEO terbaik. Ia pernah menjabat Dirut Semen Padang, kemudian berlanjut ke Semen Gresik. Lalu menjadi Dirut Semen Indonesia yang merupakan induk dari semua perusahaan semen milik negara.

Sayang sekali sewaktu Dwi Soetjipto ditunjuk sebagai Dirut Pertamina, berakhir kurang manis. Meskipun Pertamina selama 3 tahun di bawah komando Dwi berhasil meraih laba besar dengan memperbaiki sisi efisiensi, ia dinilai gagal membangun tim yang solid dan tidak kompak dengan Wakil Dirut. Kalau saja Dwi sehabis dari Semen Indonesia, memilih menjadi "pandito" di bidang manajemen, maka ia akan dikenang sebagai CEO handal tanpa cacat.

Ada lagi contoh lain. Husnul Suhaimi adalah putra Bukittinggi yang berkibar di bidang telekomunikasi. Beliau menjabat Dirut di Indosat lalu hijrah lagi menjadi Dirut di Exelcomindo. Lalu di saat kondisi sangat bagus di tahun 2015, dan banyak perusahaan sejenis lain ingin menggaetnya, Husnul mundur. Sekarang beliau aktif sebagai konsultan dan mengajar.

Jadi saat ada penawaran yang menggiurkan,  seseorang harus punya kalkulasi. Soeharto, setiap sidang umum MPR lima tahunan yang meminta kesediaan beliau untuk menjadi Presiden periode berikutnya, barangkali merasa bahwa ini ladang pengabdian yang kalau ditolak sepertinya akan mengecewakan masyarakat. Lagi pula beliau berlatar belakang tentara yang "haram" menolak tugas.Tanpa terasa lebih 30 tahun beliau berkuasa. Artinya telah melewati masa keemasannya.

Setelah seseorang mencapai puncak, mau tak mau harus turun. Nah, kapan waktu turun yang terbaik? Tak ada formula baku. Tapi melihat aturan yang berlaku sekarang ini yang hanya membolehkan seorang Presiden atau kepala daerah maksimal memimpin selama dua periode atau sepuluh tahun, maka bisa dikatakan bahwa bagi  CEO di perusahaan pun, sepuluh tahun cukuplah. Ini jalan untuk turun secara terhormat.

Kebetulan sekarang lagi dilakukan seleksi untuk mengisi jabatan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari daftar 107 orang yang lolos pada seleksi administrasi terlihat banyak sekali nama mantan petinggi yang dulu pernah lama di puncak sebuah institusi. Artinya, seseorang yang sudah turun, sering pula merasa gregetan, ingin naik lagi ke puncak.

Semoga saja niat para "suhu" yang ingin "turun gunung" bukan karena ingin mengulang kembali pengalaman diperlakukan sebagai orang istimewa dengan segudang fasilitas. Tapi betul-betul murni karena ingin mengabdi dan telah selesai dengan "diri sendiri" dalam arti tidak bermotif mencari uang.

Cerita tentang kapan harus turun ini juga relevan dengan pengusaha. Pengusaha sukses selalu tak pernah puas. Dari punya satu perusahaan lalu berkembang biak jadi dua, tiga, belasan, puluhan, sampai ratusan, sampai ada yang tidak tahu lagi jumlah perusahaan yang dimiliki. Bagus juga karena ini menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Apalagi kalau juga tertib menyetor pajak ke negara.

Tapi jangan sebut bodoh pengusaha yang menolak membuka cabang, menolak mewaralabakan usahanya. Bagi tipe begini tujuannya lebih ke ketenangan jiwa. Tak mau memburu harta dan merasa cukup nyaman dengan kondisi yang ada. Salahkah ia bila gak mau beranjak dari zona nyaman?

Menurut motivator ulung, mungkin tindakan pengusaha "malas" di atas, dinilai salah, karena memanjakan diri dan tidak mengeksplorasi kapasitas yang dipunyainya. Namun, bagaimanapun juga semua orang punya pilihan masing-masing dan telah menyadari juga konsekuensinya.

Namun demikian khusus untuk para profesional (bukan pemilik usaha, tapi orang ditunjuk memimpin karena keahliannya), kalau pilihannya adalah ingin turun sendiri atau diturunkan, tentu yang paling tepat adalah turun sendiri di saat menyelesaikan suatu misi, target, ataupun periode waktu yang diperjanjikan.

Jika selalu berambisi untuk tidak turun-turun, pada akhirnya akan diturunkan, baik karena kapasitas yang menurun, tantangan yang makin kompleks, intrik pihak lain yang ingin mengambil alih kekuasaan, dan sebagainya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun