Ada lagi contoh lain. Husnul Suhaimi adalah putra Bukittinggi yang berkibar di bidang telekomunikasi. Beliau menjabat Dirut di Indosat lalu hijrah lagi menjadi Dirut di Exelcomindo. Lalu di saat kondisi sangat bagus di tahun 2015, dan banyak perusahaan sejenis lain ingin menggaetnya, Husnul mundur. Sekarang beliau aktif sebagai konsultan dan mengajar.
Jadi saat ada penawaran yang menggiurkan, Â seseorang harus punya kalkulasi. Soeharto, setiap sidang umum MPR lima tahunan yang meminta kesediaan beliau untuk menjadi Presiden periode berikutnya, barangkali merasa bahwa ini ladang pengabdian yang kalau ditolak sepertinya akan mengecewakan masyarakat. Lagi pula beliau berlatar belakang tentara yang "haram" menolak tugas.Tanpa terasa lebih 30 tahun beliau berkuasa. Artinya telah melewati masa keemasannya.
Setelah seseorang mencapai puncak, mau tak mau harus turun. Nah, kapan waktu turun yang terbaik? Tak ada formula baku. Tapi melihat aturan yang berlaku sekarang ini yang hanya membolehkan seorang Presiden atau kepala daerah maksimal memimpin selama dua periode atau sepuluh tahun, maka bisa dikatakan bahwa bagi  CEO di perusahaan pun, sepuluh tahun cukuplah. Ini jalan untuk turun secara terhormat.
Kebetulan sekarang lagi dilakukan seleksi untuk mengisi jabatan komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari daftar 107 orang yang lolos pada seleksi administrasi terlihat banyak sekali nama mantan petinggi yang dulu pernah lama di puncak sebuah institusi. Artinya, seseorang yang sudah turun, sering pula merasa gregetan, ingin naik lagi ke puncak.
Semoga saja niat para "suhu" yang ingin "turun gunung" bukan karena ingin mengulang kembali pengalaman diperlakukan sebagai orang istimewa dengan segudang fasilitas. Tapi betul-betul murni karena ingin mengabdi dan telah selesai dengan "diri sendiri" dalam arti tidak bermotif mencari uang.
Cerita tentang kapan harus turun ini juga relevan dengan pengusaha. Pengusaha sukses selalu tak pernah puas. Dari punya satu perusahaan lalu berkembang biak jadi dua, tiga, belasan, puluhan, sampai ratusan, sampai ada yang tidak tahu lagi jumlah perusahaan yang dimiliki. Bagus juga karena ini menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Apalagi kalau juga tertib menyetor pajak ke negara.
Tapi jangan sebut bodoh pengusaha yang menolak membuka cabang, menolak mewaralabakan usahanya. Bagi tipe begini tujuannya lebih ke ketenangan jiwa. Tak mau memburu harta dan merasa cukup nyaman dengan kondisi yang ada. Salahkah ia bila gak mau beranjak dari zona nyaman?
Menurut motivator ulung, mungkin tindakan pengusaha "malas" di atas, dinilai salah, karena memanjakan diri dan tidak mengeksplorasi kapasitas yang dipunyainya. Namun, bagaimanapun juga semua orang punya pilihan masing-masing dan telah menyadari juga konsekuensinya.
Namun demikian khusus untuk para profesional (bukan pemilik usaha, tapi orang ditunjuk memimpin karena keahliannya), kalau pilihannya adalah ingin turun sendiri atau diturunkan, tentu yang paling tepat adalah turun sendiri di saat menyelesaikan suatu misi, target, ataupun periode waktu yang diperjanjikan.
Jika selalu berambisi untuk tidak turun-turun, pada akhirnya akan diturunkan, baik karena kapasitas yang menurun, tantangan yang makin kompleks, intrik pihak lain yang ingin mengambil alih kekuasaan, dan sebagainya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H