Kompas 2 Januari 2017 memberitakan kasus yang menimpa seorang Bupati di Jawa Tengah yang berkaitan dengan suap atas promosi dan mutasi sejumlah pejabat eselon II sampai V di kabupaten tersebut. Penyidik KPK menyita uang Rp 2 miliar ditambah 5.700 dollar AS dan 2.035 dollar Singapura dari kasus tersebut.
Tulisan ini tidak bermaksud menanggapi kasus di atas. Namun sesungguhnya, kasus seperti itu bukan tergolong hal yang luar biasa, karena sebagaimana ditulis Kompas pada berita dimaksud, ini adalah puncak gunung es fenomena jual beli jabatan pemerintahan di Indonesia. KPK mendapat informasi hal serupa diduga juga berlangsung di sejumlah daerah.
Bayangkan kalau mutasi dan promosi yang lingkupnya nasional, bukan hanya kabupaten, tentu nilai uang yang berkaitan dengan promosi dan mutasi pejabat, jauh lebih besar. Seorang pejabat yang berasal dari Jawa namun menduduki posisi di sebuah provinsi di Indonesia Timur tidak bakal keberatan mengeluarkan uang asal bisa dimutasi ke Jawa.
Jangankan di lembaga pemerintahan, di perusahaan milik negara yang seharusnya dikelola secara profesional pun, terutama di era sebelum KPK lahir, cerita seperti di atas, relatif sering terjadi.  Namun seiring dengan makin gencarnya penerapan good corporate governance (GCG), praktek demikian muncul dalam modus yang lebih halus dan seolah-olah tidak berkaitan langsung dengan promosi atau mutasi jabatan.Â
Agar seseorang dipromosikan atau dimutasikan ke posisi yang diinginkan, di samping harus memenuhi persyaratan, juga harus dikenal baik oleh pejabat yang punya kewenangan dalam mempromosikan atau memutasikan. Kalau hanya sekadar memenuhi persyaratan, ada banyak pegawai yang masuk kriteria, sedangkan formasi yang tersedia sangat terbatas.
Nah, dalam rangka menjadi orang yang dikenal "baik" itulah, berbagai taktik dilakukan. Yang positif biasanya kalau si pegawai rajin melontarkan pendapat di forum rapat. Tapi perlu dibarengi dengan pendekatan non teknis di lapangan golf, atau ikut di komunitas yang bos menjadi pengurusnya. Dalam hal ini apa yang dalam istilah awam disebut "cari muka", sah-sah saja.
Lalu, modus yang beda tipis dengan suap adalah bila si pegawai memberi hadiah pada si bos, baik atas inisitaif sendiri, maupun menafsirkan perilaku si bos sebagai mau menerima hadiah. Biasanya bila si bos pernah menolak mentah-mentah dan mengembalikan hadiah yang diterimanya dari seseorang, maka berita ini akan menyebar dan membuat pegawai lain tidak berani bertindak serupa. Namun bila cerita seperti  itu tidak ada, atau bahkan si bos seakan-akan memancing agar diberi sesuatu, itu artinya si bos termasuk akomodatif.
Memberi hadiah di samping untuk si bos sendiri, bisa pula diberikan pada istri dan anak-anaknya, yang dilakukan jauh-jauh hari sebelum periode promosi atau mutasi. Hitung-hitung hal ini anggap saja sebagai investasi atau ijon. Â Jadi, cara begini sepertinya tidak kasar seperti suap.Â
Modus lain adalah memberi pelayanan ekstra pada si bos. Katakanlah saat si bos lagi berkunjung ke kantor cabang di sebuah kota di Indonesia Timur, sang kepala cabang dengan sangat memuaskan bisa mendampingi si bos, termasuk umpamanya bila si bos senang dugem, bisa diakomodasi dengan baik. Hal ini sekaligus membuat si kepala cabang memegang "kartu truf" karena rahasia si bos saat dugem tentu harus dijaga. Bila tidak lama setelah itu, si kepala cabang dimutasi ke kota lain di Pulau Jawa, maka bisa jadi itu sebagai hadiah tutup mulut.
Menjadi orang yang dipercaya si bos bisa pula melalui hal-hal kecil tapi menyentuh. Seorang kepala cabang di sebuah kota kecil di Jawa Timur sangat telaten mengurusi makam orang tua seorang direktur yang membidangi sumber daya manusia. Setahun setelah itu, si kepala cabang langsung dipromosikan menjadi kepala wilayah di sebuah provinsi di seberang Jawa Timur.
Membantu mengurus tanah si bos yang berserakan, membantu kebutuhan anak si bos yang lagi kuliah di sebuah kota seperti Yogyakarta, juga termasuk hal-hal kecil yang membuat si bos sungkan memberi posisi yang kurang bergengsi pada yang rajin membantu tersebut.