Setiap pagi saya sering mengikuti berita dari siaran televisi, dan yang saya sukai adalah acara Kompas Pagi dari Kompas TV. Pada acara tersebut ada segmen interaktif antara penyiar dan pemirsa.
Pagi ini (9/12) topik diskusi interaktif berkaitan dengan gempa bumi yang baru saja meluluhlantakkan Kabupaten Pidie Jaya dan daerah sekitarnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).Â
Saya jadi terusik dan sekaligus tergerak untuk menulis tulisan ini karena ada komentar seorang pemirsa yang kurang lebih intinya begini: "Aceh adalah Serambi Mekah. Peraturan setempat pun telah mengacu kepada ketentuan syariat Islam. Tapi perbuatan masyarakatnya masih banyak yang menyimpang dari ajaran agama. Makanya jangan kaget kalau nanti di Aceh akan terjadi lagi bencana yang lebih dahsyat dari tsunami."
Untung saja penyiar tidak menanggapi lebih lanjut pendapat tersebut selain hanya menyampaikan terima kasih. Karena, menurut saya, kalau mendiskusikan kaitan bencana alam dengan "hukuman" dari Yang Maha Kuasa, akan sangat panjang dan unsur subyektifitasnya lebih dominan.
Memang dalam menyikapi bencana, dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa, harus menjadi bahan refleksi bagi setiap individu. Bagi yang sudah bagus ibadahnya, maka ini adalah ujian untuk bisa "naik kelas". Bagi yang sering berbuat dosa ini adalah teguran atau hukuman agar kembali ke jalan yang benar.Â
Makanya, bencana dapat menimpa siapa saja dan di mana saja. Orang yang lagi shalat di masjid bisa kena bencana. Saat tsunami 2004, di tengah ratanya seluruh bangunan yang ambruk, ada masjid yang berdiri kokoh. Tapi di Pidie Jaya kemaren ini justru beberapa masjid besar ambruk.
Bencana tentu bisa pula menghantam tempat-tempat maksiat. Saat gempa di Padang 2009, ada sebuah hotel runtuh secara sempurna, dan banyak penduduk Padang yang menyukurinya karena konon hotel tersebut citranya negatif sebagai tempat mesum.
Jadi, mohon maaf bila saya keliru, sebaiknya ada bencana ataupun tidak, setiap kita harus semaksimal mungkin menunaikan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tentu dengan adanya bencana, seyogyanya dipandang sebagai alarm untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas religiusitas kita.
Tapi dalam konteks manajemen kebencanaan, diskusi akan efektif kalau membahas berbagai aspek baik yang bersifat langkah tanggap darurat, maupun aspek pencegahan atau minimalisasi dampak bencana pada jangka panjang.
Tersedianya tenda penampungan, makanan, pakaian, obat-obatan, adalah aspek tanggap darurat, baik yang berasal dari kesigapan instansi terkait, maupun dari bantuan masyarakat setempat dan dari luar NAD. Untuk hal ini diskusi mungkin tidak perlu berpanjang-panjang, yang dibutuhkan adalah aksi gerak cepat.
Secara jangka panjang akan banyak hal yang perlu didiskusikan. Tentu kehidupan harus berjalan normal kembali. Rumah, toko, sekolah, masjid harus berdiri lagi. Nah, dalam membangun tersebut alangkah baiknya ada acuan bagaimana fondasi dan struktur bangunan yang kokoh dan tahan gempa. Untuk itu sumbangan pemikiran dari pakarnya sangat diperlukan.