Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bencana Alam dan Religiusitas Umat

9 Desember 2016   07:46 Diperbarui: 9 Desember 2016   08:44 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap pagi saya sering mengikuti berita dari siaran televisi, dan yang saya sukai adalah acara Kompas Pagi dari Kompas TV. Pada acara tersebut ada segmen interaktif antara penyiar dan pemirsa.

Pagi ini (9/12) topik diskusi interaktif berkaitan dengan gempa bumi yang baru saja meluluhlantakkan Kabupaten Pidie Jaya dan daerah sekitarnya di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). 

Saya jadi terusik dan sekaligus tergerak untuk menulis tulisan ini karena ada komentar seorang pemirsa yang kurang lebih intinya begini: "Aceh adalah Serambi Mekah. Peraturan setempat pun telah mengacu kepada ketentuan syariat Islam. Tapi perbuatan masyarakatnya masih banyak yang menyimpang dari ajaran agama. Makanya jangan kaget kalau nanti di Aceh akan terjadi lagi bencana yang lebih dahsyat dari tsunami."

Untung saja penyiar tidak menanggapi lebih lanjut pendapat tersebut selain hanya menyampaikan terima kasih. Karena, menurut saya, kalau mendiskusikan kaitan bencana alam dengan "hukuman" dari Yang Maha Kuasa, akan sangat panjang dan unsur subyektifitasnya lebih dominan.

Memang dalam menyikapi bencana, dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa, harus menjadi bahan refleksi bagi setiap individu. Bagi yang sudah bagus ibadahnya, maka ini adalah ujian untuk bisa "naik kelas". Bagi yang sering berbuat dosa ini adalah teguran atau hukuman agar kembali ke jalan yang benar. 

Makanya, bencana dapat menimpa siapa saja dan di mana saja. Orang yang lagi shalat di masjid bisa kena bencana. Saat tsunami 2004, di tengah ratanya seluruh bangunan yang ambruk, ada masjid yang berdiri kokoh. Tapi di Pidie Jaya kemaren ini justru beberapa masjid besar ambruk.

Bencana tentu bisa pula menghantam tempat-tempat maksiat. Saat gempa di Padang 2009, ada sebuah hotel runtuh secara sempurna, dan banyak penduduk Padang yang menyukurinya karena konon hotel tersebut citranya negatif sebagai tempat mesum.

Jadi, mohon maaf bila saya keliru, sebaiknya ada bencana ataupun tidak, setiap kita harus semaksimal mungkin menunaikan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tentu dengan adanya bencana, seyogyanya dipandang sebagai alarm untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas religiusitas kita.

Tapi dalam konteks manajemen kebencanaan, diskusi akan efektif kalau membahas berbagai aspek baik yang bersifat langkah tanggap darurat, maupun aspek pencegahan atau minimalisasi dampak bencana pada jangka panjang.

Tersedianya tenda penampungan, makanan, pakaian, obat-obatan, adalah aspek tanggap darurat, baik yang berasal dari kesigapan instansi terkait, maupun dari bantuan masyarakat setempat dan dari luar NAD. Untuk hal ini diskusi mungkin tidak perlu berpanjang-panjang, yang dibutuhkan adalah aksi gerak cepat.

Secara jangka panjang akan banyak hal yang perlu didiskusikan. Tentu kehidupan harus berjalan normal kembali. Rumah, toko, sekolah, masjid harus berdiri lagi. Nah, dalam membangun tersebut alangkah baiknya ada acuan bagaimana fondasi dan struktur bangunan yang kokoh dan tahan gempa. Untuk itu sumbangan pemikiran dari pakarnya sangat diperlukan.

Dalam hal ini memadukan kearifan lokal dan ilmu modern bisa menjadi pilihan. Menarik menyaksikan bahwa saat gempa di berbagai lokasi, rumah tradisional seperti rumah gadang di Sumatera Barat lebih tahan gempa. Tapi bangunan modern pun ada yang rapuh dan ada yang kokoh. Lihat saja dari kejadian di Pidie kemaren, di dekat bangunan yang ambruk, ada ruko yang masih kokoh.

Indonesia memang ditakdirkan menjadi negara yang rawan bencana. Makanya meskipun  bangunannya sudah ekstra kokoh, tetap diperlukan adanya sistem peringatan dini yang efektif. Edukasi pada masyarakat juga harus selalu dilakukan terus menerus tentang bagaimana cara menyelamatkan diri saat peringatan dini itu berbunyi.

Pada jenis bencana yang lain seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan, tak kalah pentingnya pula bagaimana menyadarkan masyarakat, termasuk perusahaan, untuk tidak melakukan hal-hal yang justru menuai bencana besar hanya demi keuntungan jangka pendek. Upaya penegakan hukum bagi siapa pun yang melanggar, tanpa pandang pulu, juga penting untuk membangun kesadaran semua pihak. 

Terakhir, sebagai umat beragama marilah kita berdoa bersama, agar negara kita tercinta ini dijauhi dari bencana. Pada akhirnya, manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun