Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ujian "Open Book" di Era Internet

14 Desember 2016   06:44 Diperbarui: 14 Desember 2016   17:20 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Sebagai pengajar di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Jakarta, tentu saya berkewajiban membuat soal ujian, baik ujian tengah semester maupun ujian akhir semester. Saya lebih menyukai membuat soal yang berjenis esei yang meminta mahasiswa menguraikan jawabannya ketimbang jenis soal pilihan berganda yang cenderung seperti main tebak-tebakan dan gampang dicontek.

Saya juga lebih suka mahasiswa bebas menuangkan pikirannya, tidak terpaku pada hafalan secara kaku. Makanya dengan pede saya membuat soal yang bersifat open book. Artinya, silakan membuka buku teks atau catatan, toh soalnya tidak saya ambil dari buku teks, tapi kasus yang saya ambil dari berita di media masa. Buku teks hanya menjadi referensi teoretis dalam membedah kasus tersebut.

Dalam bayangan saya, yang memang telah lama tidak mengajar secara reguler, mahasiswa akan membawa banyak buku ke ruang ujian. Ternyata mereka hanya bermodal hape saja, karena apa yang ada di buku ada juga di hape. Sehingga saya jadi sulit mengawasi apakah mereka mencari jawaban memakai aplikasi pencari data seperti Google atau sejenisnya, atau bertanya ke teman yang paling pintar melalui hape.

Ada niat saya untuk melarang mereka menggunakan hape. Tapi saya takut dibilang ketinggalan zaman dan tidak konsisten. Saya telah menulis di atas kanan lembaran soal bahwa ujian bersifat open book, dan kenyataannya sekarang sudah era buku elektronik atau sering ditulis e-book.

Akhirnya saya membiarkan saja para mahasiswa berselancar di dunia maya untuk menjawab soal ujian. Tentu mereka bisa mengakses tulisan dari para pakar, dan mereka tinggal kutip, lalu mendapat nilai yang tinggi. Jujur saya merasa melakukan kekeliruan fatal dan para mahasiswa akan berpesta nilai A tanpa bisa saya deteksi kepintaran masing-masing yang sesungguhnya.

Namun, dugaan saya akan bertaburannya nilai A, buyar seketika setelah saya selesai memeriksa jawaban mereka. Mayoritas mahasiswa hanya dapat nilai C. Kenyataannya, meski di era internet akses terhadap ilmu semakin gampang, hanya tinggal klik, tidak berarti membuat orang semakin analitis.

Justru saya merasa, mental copy-paste yang tumbuh subur, telah membuat banyak orang terlena, menggampangkan masalah, dan malahan akhirnya tidak menjawab permasalahan. Dalam hal kasus ujian di atas, mahasiswa jadi tumpul, manja, malas berpikir, dan hanya sibuk mencari jawaban instan. Itu pun mereka menelan mentah-mentah jawaban instan yang ada di hape mereka, tanpa mau sedikit kreatif memodifikasi agar selaras dengan soal ujian.

Jadi, pintar mana mahasiswa era jadul dengan anak sekarang? Barangkali tidak bisa diperbandingkan begitu saja, karena situasi dan kondisi yang jauh berbeda. Tapi yang ingin saya ungkapkan adalah, kalau dulu waktu saya kuliah mencari informasi yang dibutuhkan relatif sulit dan mahal, maka sekarang semuanya menjadi gampang. Namun terlalu banyak informasi malah membuat mahasiswa punya kesulitan tersendiri memilih yang paling pas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun