Bahkan akhirnya takdir berkata lain, si cowok dipanggil sang pencipta, ketika masih berusia 40-an, meninggalkan tiga orang anak yang masih sekolah. Lalu saat teman-teman kantor melayat, ada yang berbisik, kasihan ya istrinya, kalau dulu ia tetap bekerja di kantor mungkin sudah jadi pejabat seperti ibu C atau ibu D yang teman satu angkatan dulunya.
Waktu akan menjalani sebuah pilihan, tidak ada yang bisa memprediksi dengan tepat, apakah nanti seiring berlalunya waktu, pilihan itu tepat atau tidak. Namun bagaimanapun juga, karena waktu tidak bisa diputar mundur, tetaplah bertanggung jawab dengan pilihan tersebut, dengan catatan apabila ternyata keliru, kita fokus ke tindakan perbaikan. Tidak ada yang perlu disesalkan dan selalu ada hikmah di balik itu.
Tindakan perbaikan tidak harus dengan kembali ke titik nol. Semaksimal mungkin carilah kemungkinan memodifikasi pilihan sebelumnya. Namun kalau betul-betul tidak ada celah dalam memodifikasi pilihan sebelumnya, apa boleh buat, baru menyusun pilihan baru yang berbeda sama sekaki.
Jadi, setelah menikah sekian lama, tak bisa seenaknya saja bilang wah saya dulu salah pilih. Telah kuliah 5 tahun, eh, pas menggarap skripsi, tiba-tiba ngadat, lalu bilang salah pilih jurusan. Telah bekerja di sebuah perusahaan selama belasan tahun, lalu merasa tidak cocok dengan bidang yang digeluti perusahaan, padahal mungkin karena gak suka dengan gaya bos baru.
Dalam memutuskan untuk mengambil suatu pilihan dari beberapa alternatif yang tersedia, kita hanya perlu meyakini bahwa itulah yang terbaik. Bila perlu terlebih dahulu meminta saran dari orang yang dinilai punya pengalaman.Â
Setelah memilih, jalani dan perjuangkan dengan sebaik-baiknya. Itulah bentuk pertanggungjawaban dari sebuah pilihan, terlepas dari apapun hasilnya. Tentu berdoa menjadi bagian yang tak terpisahkan di setiap langkah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H