Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Hutan Beton di Ibukota, Masih Layakkah Ditambah?

25 Agustus 2016   19:42 Diperbarui: 25 Agustus 2016   21:11 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: fruitworldmedia.com

Sudah berapa lama anda tidak ke Jakarta? Satu tahun saja anda tidak menginjakkan kaki, mungkin anda akan kaget menemukan banyak gedung pencakar langit baru. Bahkan bagi yang sehari-hari melewati jalan protokol di ibukota pun, sering luput memperhatikan, tahu-tahu proses konstruksi sebuah gedung tinggi sudah memasuki tahap akhir.

Banyak pendapat para pakar yang meragukan daya dukung lingkungan, termasuk sumber air ataupun listrik, bagi ratusan gedung tinggi yang menghiasi langit Jakarta. Konon permukaan tanah sudah semakin turun, dan air laut sudah menyusup ke tengah kota. Tapi semua itu tidak menyurutkan niat para pemodal untuk membangun gedung jangkung.

Bahkan mengacu kepada laporan organisasi yang menginventarisir semua gedung dengan ketinggian di atas 200 meter di seluruh dunia, dan diberitakan oleh kompas.com, selama tahun 2015 yang lalu Indonesia tercatat sebagai negara kedua terbanyak menyelesaikan pembangunan gedung setinggi 200 meter atau lebih dalam satu tahun tersebut, setelah Cina.

Sepanjang tahun 2015, ada 9 gedung setinggi minimal 200 meter yang selesai dibangun di Indonesia dan 7 di antaranya di Jakarta. Namun bila kriteria gedung tinggi tersebut diturunkan menjadi di atas 100 meter atau lebih kurang di atas 25 lantai maka ada banyak sekali gedung tinggi. Bahkan menurut catatan pemprov DKI Jakarta ada sekitar 900 gedung tinggi, dengan kriteria minimal 9 lantai.

Sekadar kilas balik, sejarah gedung tinggi baru dimulai di tahun 1963 dengan dibangunnya Gedung Sarinah, toko serba ada pertama di Indonesia, di Jalan Tamrin Jakarta. Sebetulnya dilihat dari kacamata sekarang, Sarinah relatif pendek, hanya 74 meter untuk 15 lantai. Dan memang Sarinah hanya mampu 4 tahun memegang rekor, sebelum beralih ke Wisma Nusantara, masih di jalan Tamrin, gedung 30 lantai setinggi 117 meter.

Berikutnya giliran Graha Mandiri (dulu bernama Bumi Daya Plaza) yang menjadi gedung tertinggi selama tahun 1983 sampai 1996. Gedung yang terletak di Jalan Imam Bonjol ini berlantai 32 dan tingginya 143 meter. Bank Bumi Daya pernah berkantor pusat di gedung yang dekat dengan bundaran HI ini, sebelum bank tersebut bersama 3 bank BUMN lainnya melebur diri menjadi Bank Mandiri.

Terakhir sejak tahun 1996 sampai sekarang predikat gedung tertinggi di negara kita disematkan pada Wisma BNI 1946 yang terletak di Jalan Sudirman seperti terlihat pada foto dokumen Wikipedia di atas.

Meskipun gedung BNI tersebut hanya terdiri dari 46 lantai, kalah dari dua gedung yang mengapit Hotel Indonesia yakni Menara BCA (56 lantai) dan Kempinski Residence (58 lantai), tapi tingginya yang 262 meter karena ada ujung gedung yang runcing dan sangat ikonik. 

Ada yang menyebutkan gedung ini seperti sebuah perahu panjang yang diberdirikan sesuai logo BNI di era pendirian gedung yang memakai gambar perahu layar. Tapi ada juga yang menyebut berbentuk fountain pen atau pulpen dengan mata pena berujung tajam.

Kalau melihat rencana beberapa pengembang besar, rekor Wisma BNI tidak akan lama lagi bertahan. Sekarang saja beberapa gedung setinggi di atas 300 meter sudah dalam tahap finishing. Sayangnya (untungnya?) rencana Pertamina mendirikan gedung 99 lantai dengan ketinggian di atas 500 meter kabarnya dibatalkan.

Kalau dilihat dari sisi prestisius harusnya kita bangga bila Pertamina tetap pada rencana semula dan sekaligus mengalahkan Menara Petronas Kuala Lumpur. Tapi bila melihat daya dukung Jakarta yang jauh lebih padat, lebih sumpek dan lebih tinggi polusinya dibanding Kuala Lumpur, kita mendukung pembatalan rencana tersebut.

Tidak tertahankan, Jakarta, bahkan termasuk kota sekitarnya, sudah menjadi hutan beton. Padahal yang dibutuhkan adalah hutan kota.Tanpa mengecilkan perjuangan Gubernur DKI saat ini yang relatif berhasil menggusur pemukiman liar dan menyulapnya menjadi taman kota, rasanya di ibukota belum ada hutan kota seperti di Hyde Park London atau Central Park New York. Namun lumayan juga dengan adanya areal hijau di sekitar Monas.

Pada sebuah foto dokumen pribadi saya yang saya sertakan di sini, terlihat semacam hutan di sekitar gedung tinggi di Jalan Sudirman. Tapi saya khawatir (mudah-mudahan saya keliru) bahwa itu bukan hutan kota, tapi semak belukar untuk kapling yang belum dibangun.

Yang diperlukan saat ini adalah suatu studi yang obyektif dari pakar yang independen, seberapa besar kapasitas yang tersisa buat ibukota tercinta ini buat ditambahi lagi gedung tinggi yang memperluas hutan beton.

Bukan Hutan Kota
Bukan Hutan Kota
Model Kerucut
Model Kerucut
Geliat di Jalan Sudirman
Geliat di Jalan Sudirman
Gedung jangkung baru
Gedung jangkung baru
Finishing | Dokpri
Finishing | Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun